Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintah bakal melarang menjual pengecer atau warung menjual LPG 3 kg. Larangan ini diterapkan agar penerima subsidi gas lebih tepat sasaran, serta tak ada penggelembungan harga gas melon.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan nantinya tidak ada lagi pengecer menjual gas bersubsidi tersebut. Semua pengecer akan diubah menjadi pangkalan, yang stoknya langsung dari Pertamina.
Pemerintah memberikan waktu satu bulan bagi pengecer untuk mendaftarkan usahanya menjadi pangkalan resmi penjual LPG 3 Kg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Per 1 Februari peralihan. Karena itu kan ada jeda waktu kami berikan untuk satu bulan,” kata Yuliot Tanjung di Kementerian ESDM, Jumat (31/1).
Pemerintah beralasan penghapusan penjual eceran ini untuk memutus mata rantai yang membuat harga gas melon itu jauh di atas yang diatur pemerintah selama ini.
Imbas kebijakan tersebut, antrean panjang warga beli LPG 3 kg di pangkalan terjadi di beberapa tempat Antrean panjang warga berburu LPG 3 kg terlihat di salah satu agen resmi di Sawangan, Depok, Jawa Barat yakni PT Internusa Jaya Sinergi Global.
Saleh, warga Cinangka, Sawangan, berdiri dalam antrean panjang pembeli demi dapat satu tabung gas bersubsidi. Ia datang ke agen usai stok LPG 3 kg di warung sembako langgananya kosong. Pemilik warung mengarahkan Saleh untuk beli gas melon di agen resmi.
Ia menjelaskan antrean pembeli mengular lantaran banyak warga yang belum terdaftar sebagai penerima subsidi LPG 3 kg. Sementara, pembelian gas melon di agen dan pangkalan wajib menunjukkan KTP.
“Pakai KTP kalau belum daftar, makanya agak antre, banyak yang belum daftar,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/1).
Lantas tepat kah langkah pemerintah melarang pengecer menjual LPG 3 kg?
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan langkah tersebut tidak tepat karena pasti akan mempersulit masyarakat miskin mendapatkan LPG 3 kg. Pasalnya, mereka selama ini terbiasa mendapatkan gas dari pengecer.
Imbasnya, akan terjadi antrean panjang di agen resmi LPG 3 kg. Kondisi ini akan mengganggu pengguna LPG subsidi itu, terutama pedagang dalam menjalankan usahanya.
“Pastinya akan terjadi chaos, akan terjadi antrean yang tidak perlu. Efeknya fatal, berapa banyak pelaku usaha UMKM yang terpaksa berhenti jualan karena mengantre LPG kg, padahal pedagang kaki lima berhak mendapatkan LPG kg,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (3/2).
“Jadi ini skema subsidi yang tidak jelas sosialisasinya dan berbahaya sekali buat ekonomi masyarakat,” sambungnya.
Pelarangan pengecer menjual LPG melon, sambung Bhima, hanya cara pemerintah membuat masyarakat kesulitan mendapatkan subsidi. Dengan begitu anggaran subsidi bisa dihemat.
Ia pun menilai alasan pemerintah melarang penjual eceran agar harga LPG 3 kg sesuai dengan yang diatur pemerintah tidak masuk akal.
“Kalau warung hanya mengambil (untung) Rp2.000 per tabung ya kenapa enggak boleh. Sebenarnya bukan soal harga, ini cara pemerintah agar subsidi sulit diakses sehingga bisa menghemat anggaran subsidi LPG 3 kg. Harga yang berbeda hanya alasan saja,” imbuh Bhima.
Sementara itu, Bhima juga menilai persyaratan yang ditetapkan Pertamina bagi pengecer yang ingin menjadi agen LPG 3 kg terlalu berat. Apalagi di lapangan, pengecer LPG 3 kg kebanyakan warung-warung kecil yang modalnya di bawah Rp20 juta.
Syarat tersebut, sambung Bhima, sama saja membunuh kesempatan warung menjadi agen LPG 3 kg. Padahal selama ini warung telah membantu penyaluran LPG 3 kg ke tempat-tempat terpencil. Pemerintah seharusnya tidak melarang pengecer, tetapi mendatanya sehingga bisa dipantau agar tepat sasaran.
“Jadi warung boleh (jual LPG 3 kg) tapi menggunakan skema aplikasi subsidi tepat sasaran. Bukan berarti warung tidak boleh jadi pengecer,” katanya.
Direktur Energy Shift Institute Putra Adhiguna mengatakan langkah pelarangan pengecer menjual LPG 3 kg memang ditujukan untuk membatasi konsumsi gas LPG 3 kg karena banyak rumah tangga mampu ikut menikmati subsidi. Namun sosialisasinya tampak mendadak.
“Cukup mengherankan kenapa kebijakan terkait BBM dan LPG sering tampak mendadak bagi masyarakat dan tidak terasa cukup bertahap,” katanya.
Apalagi, biasanya masyarakat sulit ke agen karena jaraknya jauh. Sementara itu syarat untuk pengecer menjadi agen tampak terlalu berat bagi warung-warung yang pendanaannya terbatas.
“Karena itu perlu ada jalan tengah antara keduanya, misal ada kepastian adanya agen LPG dalam radius jarak tertentu yang terjangkau masyarakat, dan tugas pemerintah lah memenuhi prasyarat tersebut,” katanya.
Jika pemerintah ingin pelarangan pengecer LPG 3 kg tetap dilaksanakan, Putra menyarankan harus diatur kembali secara jelas dengan jangka waktu misalnya tiga bulan dan dilakukan secara bertahap.
“Untuk lebih panjangnya, lebih serius penggunaan kompor listrik dan jargas juga sangat penting untuk mengurangi ketergantungan terhadap LPG kg,” katanya.
Sementara itu, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono mengatakan pemerintah berharap dapat menekan beban subsidi LPG 3 kg dengan larangan ini. Sebab, 68 persen konsumsi LPG 3 kg diperkirakan dinikmati kelas menengah atas, lalu sisa 32 persen adalah orang miskin.
“Karena LPG kita bergantung pada impor maka seiring kenaikan harga komoditas global, maka beban subsidi LPG 3 kg cenderung terus meningkat seiring kenaikan konsumsi. Maka mengendalikan konsumsi LPG 3 kg menjadi krusial bagi pemerintah untuk menekan subsidi LPG 3 kg,” katanya.
Namun upaya pemerintah mengendalikan konsumsi LPG 3 kg dengan membatasi penjualan hanya oleh agen resmi Pertamina menurutnya adalah kebijakan yang sangat tidak berkeadilan serta tidak efisien. Ada dua alasan di balik penilaian Yusuf tersebut.
Pertama, dengan hanya bisa dibeli hanya di agen resmi Pertamina, maka akses konsumen ke LPG 3 kg akan menjadi sangat terbatas.
“Jumlah agen LPG di seluruh Indonesia hanya sekitar 260 ribu unit. Tentu jumlah ini jauh lebih sedikit dibandingkan pedagang eceran yang selama ini melayani pembelian LPG 3 kg oleh konsumen yang umumnya adalah rumah tangga dan usaha mikro. Warung dan toko kelontong misalnya, yang selama ini menjadi pedagang eceran utama dari LPG 3 Kg, diperkirakan berjumlah lebih dari 3,9 juta unit,” katanya.
Hal ini katanya tentu sangat merugikan konsumen. Pasalnya biaya mencari lokasi agen penjualan (searching cost) dan biaya transportasi pulang-pergi ke lokasi agen yang lebih jauh (transaction cost) menjadi jauh lebih mahal.
Kedua, kebijakan membatasi penjualan LPG 3 kg hanya di tingkat agen juga berpotensi besar tidak efektif untuk membuat penyalurannya menjadi lebih tepat sasaran.
Penjualan LPG 3 kg hanya di agen resmi diikuti dengan kewajiban menyerahkan KTP atau KK oleh konsumen agar cocok dengan data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) tidak efektif, karena konsumen banyak yang tidak mengetahui keharusan menyerahkan KTP dan agen juga tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pencocokan data.
Yusuf mengatakan seandainya kebijakan ini dipaksakan, maka dipastikan akan menghambat konsumen yang tidak membawa KTP atau bahkan tidak memiliki dokumen kependudukan resmi.
[Gambas:Photo CNN]
“Ditambah dengan biaya transaksi yang kini jauh lebih tinggi, hal ini akan men-discourage kelompok miskin yang seharusnya paling berhak atas LPG 3 Kg bersubsidi,” katanya.
Seandainya pun berjalan, sambung Yusuf, pembatasan dengan mekanisme ini juga berpotensi tidak efektif karena basis data kemiskinan seperti DTKS masih banyak bermasalah.
Dengan data yang banyak masalah, maka Indonesia masih menghadapi isu lama yaitu tingginya angka exclusion error di mana orang miskin yang berhak tidak masuk dalam DTKS, serta angka inclusion error di mana orang tidak miskin masuk dalam DTKS.
Yusuf mengatakan kebijakan yang lebih efektif dan berkeadilan untuk menekan beban subsidi LPG 3 kg sebenarnya adalah dengan pembangunan jaringan gas untuk rakyat secara masif. Pipanisasi gas akan menghasilkan efisiensi yang signifikan dalam distribusi LPG ke masyarakat dibandingkan melalui tabung gas seperti selama ini.
Yusuf mengatakan setidaknya akan ada tiga keuntungan besar yang diraih dari pipanisasi gas. Pertama, harga lebih murah yang harus dibayar masyarakat, baik konsumen LPG non subsidi maupun LPG subsidi. Kedua, turunnya beban APBN untuk subsidi LPG. Ketiga, turunnya ketergantungan pada impor LPG yang sekaligus menghemat devisa yang akan mengokohkan stabilitas kurs rupiah.
“Andai pemerintah serius membangun pipa jalur distribusi dan pemasaran gas untuk konsumsi domestik disertai peningkatan kapasitas kilang, kita berpotensi menghasilkan efisiensi dan manfaat ekonomi yang signifikan dari turunnya marjin pengangkutan dan harga gas. Namun kita lebih suka mengimpor LPG. Hanya mafia impor gas yang tidak menghendaki adanya reformasi pipanisasi gas dan pembangunan jaringan gas untuk rakyat ini,” katanya.
[Gambas:Video CNN]
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250204060910-85-1194196/grasah-grusuh-larang-warung-jual-lpg-3-kg-subsidi-jadi-tepat-sasaran