Jakarta, CNN Indonesia —
Wacana jual-beli wilayah di suatu negara belakangan kerap dilontarkan beberapa pemimpin negara. Donald Trump misalnya yang dalam beberapa waktu terakhir berceloteh bahwa Amerika Serikat akan membeli dan mengambil alih Jalur Gaza, pasca agresi Israel.
“Saya berkomitmen untuk membeli dan memiliki Gaza,” kata Trump dalam pernyataannya pada Minggu (9/2).
“Mengenai pembangunannya kembali, kami dapat memberikannya kepada negara-negara lain di Timur Tengah untuk membangun sebagiannya, orang lain dapat melakukannya, melalui naungan kami. Namun kami berkomitmen untuk memilikinya, mengambilnya, dan memastikan bahwa Hamas tidak kembali,” imbuh Trump.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya membeli dan mengambil alih, Trump juga mengatakan dia ingin menghancurkan bangunan yang tersisa di Gaza dan mengubah wilayah tersebut di bawah kepemilikan AS. Dia usul untuk mengubah daerah kantong di pesisir pantai itu, menjadi resor yang akan menarik orang dari seluruh dunia untuk datang.
“Saya akan menjadikannya tempat yang luar biasa. Saya pikir potensi Jalur Gaza luar biasa.”
“Saya pikir seluruh dunia, perwakilan dari seluruh dunia, akan berada di sana, dan mereka akan tinggal di sana. Orang Palestina juga, orang Palestina akan tinggal di sana. Banyak orang akan tinggal di sana,” begitu bunyi pernyataan Trump.
Beberapa pekan sebelum melontarkan wacana ingin membeli Gaza, Presiden ke-47 AS itu juga menyebut ingin membeli Greenland dan mengambil alih kontrol atas Terusan Panama.
“Greenland adalah tempat yang luar biasa, dan masyarakat akan memperoleh manfaat yang luar biasa jika, dan ketika, tempat itu menjadi bagian dari negara kita (AS). Kita akan melindunginya, dan menghargainya, dari dunia luar yang sangat kejam. Make Greenland Great Again!” tulis Trump di media sosial Truth Social.
Trump menyebut kepemilikan atas Greenland sangat penting bagi keamanan AS. Namun para pengamat mengatakan, Trump mungkin juga mengincar aspek lain dari Greenland seperti kekayaan sumber daya alam, termasuk logam tanah, yang bisa lebih mudah diakses karena perubahan iklim yang mencairkan es di wilayah itu.
Pernyataan Trump mau rebut Greenland pun dibalas “tawaran” serupa dari pemerintah Denmark. Greenland merupakan negara konstituen atau wilayah otonom yang berada di bawah kedaulatan Kerajaan Denmark.
Denmark menggertak balik Trump dengan menawarkan akan membeli negara bagian California di AS sebesar US$1 triliun atau setara Rp16.380 triliun.
Lantas, apakah wilayah di suatu negara memang bisa dah sah untuk diperjualbelikan?
Lanjut ke halaman berikut…
Amerika Serikat Beli Alaska dari Rusia
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menegaskan wilayah di suatu negara tidak bisa dibeli negara lain.
“Tidak bisa, wilayah negara tidak bisa dibeli negara lain,” kata Hikmahanto kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/2).
Sebelumnya Amerika Serikat pernah membeli Alaska pada tahun 1867, kala wilayah itu masih berada di bawah koloni Rusia. AS membelinya pada 1867 seharga US$7,2 juta atau sekitar Rp116 miliar.
Menurut Hikmahanto, transaksi seperti itu sudah tidak bisa dilakukan dalam hukum internasional modern saat ini.
“Itu pembelian dari Rusia, tapi dulu. Kalau sekarang sudah tidak bisa lagi. Lagipula (saat itu) pemiliknya jelas, AS beli Alaska yang dimiliki oleh Rusia,” kata Hikmahanto.
“Kalau Gaza, siapa pemiliknya? Israel? Israel mengokupasi secara ilegal, Atau (misalnya) beli dari pemerintah Palestina, yang pasti tidak mau menjual,” imbuhnya.
AS membeli Alaska dari Rusia pada 1867. Alaska merupakan koloni Rusia sejak 1744.
Dilansir dari laman Office of The Historian Kementerian Luar Negeri AS, pembelian Alaska pada 1867 menandai berakhirnya upaya Rusia memperluas perdagangan dan permukimannya ke pantai Pasifik Amerika Utara.
Bermula pada tahun 1725, ketika Tsar Rusia, Peter the Great, mengirim Vitus Bering untuk menjelajahi pesisir Alaska. Rusia saat itu tertarik dengan wilayah yang kaya akan sumber daya alam tersebut hingga membangun kolonial di sana.
Awal tahun 1800-an, AS melakukan ekspansi ke arah barat dan bertemu penjelajah serta pedagang Rusia, hingga akhirnya bersaing dengan mereka. Saat itu, Rusia tak punya cukup uang untuk mendukung permukiman besar maupun kehadiran militer di sepanjang Pasifik Amerika Utara.
Pada 1856, Rusia kalah dalam Perang Crimea. Kekalahan itu semakin mengurangi minat Rusia di Alaska. Pemimpin Rusia pun mulai berpikir untuk menjual Alaska.
Pada 1859, Rusia menawarkan Alaska ke Amerika Serikat karena yakin AS akan mengimbangi rencana saingan terbesar Rusia di Pasifik, Inggris Raya.
Namun, Perang Saudara Amerika menunda penjualan tersebut. Setelah perang usai, Menteri Luar Negeri AS saat itu William Seward dengan cepat menerima tawaran Rusia melalui diplomat Kremlin di Washington Eduard de Stoeckl.
Seward dan Stoeckl akhirnya menyetujui perjanjian penjualan Alaska pada 30 Maret 1867 seharga US$7,2 juta.
Puluhan tahun sebelum itu, AS juga pernah membeli wilayah Louisiana dari Prancis, tepatnya pada tahun 1803.
Wilayah ini membentang dari Teluk Meksiko di selatan hingga Kanada di utara, dan dari Sungai Mississippi di timur hingga Pegunungan Rocky di Barat.
Kala itu, AS yang dipimpin Presiden Thomas Jefferson, ingin memiliki kendali atas Sungai Mississippi dan Pelabuhan New Orleans yang berperan penting pada perdagangan dan transportasi. Saat itu, Prancis dikuasai Napoleon Bonaparte.
Lantaran ambisi Bonaparte yang lebih mementingkan wilayah Eropa dan Karibia, dia akhirnya mempertimbangkan penjualan Wilayah Luoisiana ke AS dengan harga US$15 juta.
Pembelian ini menggandakan ukuran AS, sehingga menjadikan negara itu memiliki kendali atas wilayah yang sangat luas dan kaya.
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/internasional/20250212114104-134-1197346/apakah-wilayah-di-suatu-negara-bisa-dibeli