Kenapa Awal Puasa Ramadhan di Indonesia Sering Berbeda?

Berita, Teknologi2 Dilihat
banner 468x60
banner 468x60

Housekeeping.my.id –


Jakarta, CNN Indonesia

Pakar Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi awal puasa Ramadhan 2025/1446 Hijriah berbeda dengan Muhammadiyah. Simak alasan prediksi awal bulan suci Ramadhan kerap berbeda.

Profesor Riset Astronomi dan Astrofisika BRIN, Thomas Djamaludin, memperkirakan awal Ramadhan 1446 Hijriah jatuh pada 2 Maret 2025. Prediksi ini berbeda dengan Muhammadiyah yang telah menetapkan 1 Ramadhan pada 1 Maret 2025.

Menurut Thomas posisi Bulan saat magrib pada 28 Februari 2025 di Banda Aceh berada di ketinggian 4,5 derajat dengan elongasi 6,4 derajat. Sementara di Surabaya, ketinggian Bulan 3,7 derajat dan elongasi 5,8 derajat.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Posisi tersebut sedikit melebihi kriteria kesepakatan MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura), yang mensyaratkan ketinggian minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat untuk menentukan awal bulan Hijriah.





“Posisi Bulan masih cukup rendah dan dekat dengan Matahari, sehingga sulit diamati,” ujar Thomas dalam video di kanal YouTube miliknya, dikutip Senin (24/2).

Ia menambahkan, kemungkinan rukyat hilal gagal, sehingga 1 Ramadhan 1446 H berpotensi jatuh pada 2 Maret 2025. Kendati begitu, ia mengatakan agar semua pihak menunggu keputusan hasil Sidang Isbat yang akan digelar pemerintah.

Ini bukan kali pertama prediksi awal puasa Ramadhan dan Idulfitri di Indonesia berbeda. Sebelumnya, pada tahun lalu awal puasa Ramadhan di Indonesia juga berbeda.

Puasa pertama versi Muhammadiyah jatuh pada 11 Maret 2024, sementara versi pemerintah sehari setelahnya atau 12 Maret 2025.

READ  Aneh, Penghuni Laut Dalam Ikan Anglerfish Naik ke Permukaan

Kategori penampakan hilal, baik dalam hal hitungan (hisab) maupun pengamatan langsung (rukyat), menjadi kunci pembeda awal Ramadhan, Idulfitri, hingga Iduladha antar-ormas dan pemerintah.

Thomas, dalam keterangannya di laman BRIN beberapa waktu lalu, menjelaskan bahwa hilal merupakan bulan sabit pertama yang teramati sesudah maghrib. Kemunculannya jadi penanda awal bulan hijriah.

Thomas menjelaskan bahwa hilal adalah bulan sabit pertama yang terlihat setelah matahari terbenam. Kemunculannya menandai awal bulan hijriah.

Kalender Hijriah, yang digunakan dalam penanggalan Islam, didasarkan pada pergerakan Bulan. Siklusnya dimulai dari bulan mati, muncul sebagai sabit tipis, tumbuh menjadi purnama, kemudian kembali menjadi sabit, dan akhirnya menghilang dari langit.

Hilal menjadi bukti kuat telah bergantinya fase Bulan. Dalam konteks awal bulan puasa, bulan sabit tipis ini menunjukkan pergantian dari bulan Syakban ke Ramadhan.

Menurut Thomas, terdapat perbedaan metode dalam menentukan hilal. Perbedaan inilah yang kadang menyebabkan awal Ramadan dan Idulfitri berbeda.

“Kondisi saat ini masih adanya dikotomi antara Rukyat dan Hisab yang sesungguhnya dalam ilmu astronomi kedudukannya setara,” ujarnya.

Tampak atau tidak

Terpisah, peneliti astronomi Widya Sawitar dari Planetarium Jakarta mengatakan bahwa awal bulan baru dalam kalender hijriah ditentukan oleh usia Bulan setelah ijtimak atau konjungsi.

Ijtimak adalah momen ketika Bulan dan Matahari berada pada garis edar yang sama.

Bulan baru juga dikenal sebagai Anak Bulan (sebutan lain dari hilal) berupa bulan sabit yang sangat tipis. Anak Bulan baru bisa diobservasi pada usia 8 jam 22 menit 3 detik.

“Sains dalam hal ini astronomi lebih pada penentuan New Moon, artinya apakah tahap ijtimak di mana dapat disebut tahap untuk menentukan apakah proses dari tahap Bulan Mati (ijtima) ke arah Bulan Baru (New Moon) sudah terjadi atau belum,” ujar Widya dalam wawancara dengan CNNIndonesia.com pada 2023.

READ  Gubernur Lemhannas Ungkap Peran Media Massa Bangun Ketahanan Nasional

“Kalau sudah [terjadi] artinya positif [bulan hijriah baru],” lanjutnya.

Abdul Mufid, peneliti di kelompok riset Astronomi dan Observatorium di Pusat Riset Antariksa BRIN, mengatakan ada perbedaan dan perubahan kriteria ketinggian hilal.

Kriteria lama mengacu pada tinggi hilal minimal 2 derajat dan jarak sudut Bulan-Matahari (elongasi) minimal 3 derajat serta umur bulan minimal 8 jam.

Sedangkan kriteria baru, berdasarkan kesepakatan Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), mengacu pada tinggi hilal minimal 3 derajat dan elongasi minimal 6,4 derajat.

Mufid menyebut kriteria MABIMS ini baru diterapkan di Indonesia pada 2022, yakni saat penentuan awal Ramadan dan Lebaran 1444 H.

Di luar MABIMS, ada Muhammadiyah yang menetapkan awal bulan baru Kalender Hijriah mengacu pada metode Hisab Hakiki Wujudul Hilal (kondisi peredaran Bulan, Bumi, dan Matahari yang sebenarnya), bukan hisab ‘urfi (peredaran rata-rata).

Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menekankan pihaknya tidak berlandaskan pada penampakan hilal dalam hal penetapan awal bulan hijriah, tetapi berdasarkan pada posisi geometris Matahari, Bumi, dan Bulan.

“Jadi posisinya, bukan nampak dan tidaknya,” katanya, pada 2023.

(lom/dmi)


[Gambas:Video CNN]

Artikel ini Disadur Dari Berita : https://cnnindonesia.com/teknologi/20250226183742-199-1202826/kenapa-awal-puasa-ramadhan-di-indonesia-sering-berbeda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *