Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintah berencana memberikan pengampunan hukuman atauĀ amnesti bagi sekitar 44 ribu narapidana. Salah satu kategori narapidana yang bakal mendapat amnesti adalah tahanan politik terkait Papua.
Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan rencana pemberian amnesti tahanan politik diberikan khusus hanya bagi mereka yang berbeda ideologi. Pemerintah tak akan memberikan amnesti kepada tahanan politik yang terlibat dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB).
Pigai menuturkan pemberian amnesti itu didasarkan niat Presiden Prabowo Subianto untuk rekonsiliasi dan membangun perdamaian di Papua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Dalam rangka membangun perdamaian Papua secara abadi, menciptakan perdamaian Papua secara abadi, maka dilakukanlah kebijakan-kebijakan yang bermartabat, yaitu hak asasi manusia dan rekonsiliasi,” kata Pigai saat diwawancara CNNIndonesia.com, Kamis (6/2).
Namun, Pigai belum menjelaskan secara spesifik berapa orang narapidana kasus politik Papua yang bakal dapat amnesti karena pemerintah masih melakukan asesmen. Ia menargetkan proses asemen selesai dalam satu tahun.
“Itu angka yang tahu setelah asesmen. Kalau saya tidak bisa secara detail karena hasil asesmen begitu keluar, itu juga bisa, sampai pada presiden memberikan amnesti baru jumlahnya ketahuan. Kami 44 ribu saja, kami pakai kata kurang lebih,” ucapnya.
Dahulukan dialog
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Cahyo Pamungkas berpendapat amnesti kepada tapol Papua akan mencapai tujuan untuk perdamaian jika didahului dialog antara pemerintah dan kelompok pro kemerdekaan di Papua. Namun, amnesti tak akan jika diberikan sepihak.
“Sejauh mana didahului oleh proses dialog, dialog untuk mencapai kesepakatan politik yang permanen. Kalau kemudian amnesti dilakukan di awal, itu juga tidak akan banyak manfaatnya, karena hanya bersifat unilateral dan sepihak. Entah itu kepada kelompok yang bersenjata ataupun kelompok gerakan politik,” kata Cahyo saat dihubungi, Kamis malam.
Ia memberi contoh ketika Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan grasi kepada lima tapol Papua pada 2015. Salah satunya diberikan kepada Numbungga Telenggen yang dihukum seumur hidup.
Cahyo menyebut setelah keluar dari penjara, Numbungga bergabung lagi dengan kelompok bersenjata.
Ia berpendapat hal itu terjadi karena grasi diberikan tanpa dialog untuk memahami akar persoalan di Papua.
“Artinya apa? Grasi, amnesti, ataupun abolisi tidak akan membuat jera, kalau tidak didahului oleh dialog atau proses perdamaian. Dia akan kembali lagi karena akar persoalan belum selesai. Akar persoalannya itu bukan amnesti bukan grasi, bukan abolisi, tetapi adalah konflik bersenjata yang harus diselesaikan oleh dialog,” kata dia.
Ia mengatakan dialog yang dilakukan antara pemerintah dan kelompok pro kemerdekaan di Papua harus setara.
Sementara itu, lanjut Cahyo, sejumlah kelompok berpengaruh di Papua juga perlu menggelar Konferensi Perdamaian Papua untuk menyatukan suara sebelum dialog dengan pemerintah.
Beberapa kelompok itu di antaranya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM)
Cahyo mengatakan Konferensi Perdamaian Papua pernah digagas Pastor Neles Tebay dari Jaringan Papua Damai beberapa tahun lalu.
“Kalau di Papua itu ada banyak kelompok yang harus disatukan terlebih dahulu. Menurut saya kedua belah pihak baik Indonesia maupun kelompok Papua perlu berkonsolidasi terutama untuk Papua, perlu membuat konferensi perdamaian Papua untuk menyatukan pendapatnya, menyusun agenda dan Pemerintah Indonesia juga mengambil jalan non kekerasan,” tuturnya.
Cahyo menuturkan pemberian amnesti bisa saja dilakukan sebelum dialog. Namun, amnesti harus diniatkan sebagai pintu masuk melakukan dialog.
Ia mengatakan pemberian amnesti bisa menjadi langkah awal membangun kepercayaan kedua belah pihak sebelum dialog dilakukan.
“Amnesti juga bisa diberikan sebelum dialog sebagai pintu masuk untuk melakukan dialog itu sendiri. Jadi sebagai niat baik pemerintah saya kira itu niatnya harus diluruskan,” ujar Cahyo.
Jika pemerintah tidak juga melakukannya, maka masalah di Papua tak akan pernah selesai.
Presiden diminta kirim utusan
Juru Bicara Jaringan Papua Damai Yan Christian Warinussy mengatakan akar soal konflik bersenjata di Papua selama lebih dari 50 tahun adalah perbedaan pandangan tentang sejarah.
Menurutnya, Pasal 46 UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang salah satunya bertugas mengklarifikasi sejarah Papua.
Ia mengatakan yang berbeda pandangan politik tentang sejarah Papua bukan saja kelompok non bersenjata di kota-kota dan diaspora, tetapi juga kalangan bersenjata.
“Itulah sebabnya amnesti yang ditawarkan atau hendak diberikan masih diperdebatkan dan belum bisa diharapkan menjadi sebuah langkah untuk mendorong terjadinya perdamaian di Tanah Papua kelak,” ujar Yan.
Untuk menciptakan perdamaian di Papua, kata dia, yang terpenting adalah mendesak pemerintah memulai perbincangan secara informal dengan para pemimpin kelompok pro kemerdekaan maupun kelompok resistensi lain serta kaum diaspora.
Menurut dia, perlu utusan yang dipilih dan ditetapkan oleh Presiden Prabowo Subianto untuk membangun komunikasi informal tersebut.
“Bagaimanapun pilihan jalan damai mengandung resiko bahwa operasi militer atau operasi penegakan hukum dengan menghalalkan pendekatan keamanan seyogyanya dipertimbangkan untuk dihentikan dan memulai langkah dialog damai,” ujarnya.
(yoa/tsa)