Jakarta, CNN Indonesia —
Donald Trump resmi menjadi Presiden Amerika Serikat usai dilantik di Capitol Hill, Washington DC, pada Senin (20/1) waktu setempat.
Sejak masa kampanye, Trump sesumbar akan menyelesaikan perang Rusia-Ukraina, hingga menyetop agresi Israel di Palestina.
Rusia dan Ukraina berperang sejak Februari 2022. Hingga kini tak ada proposal perdamaian yang diterima kedua pihak meski banyak negara yang mengajukan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak awal invasi pula, Rusia dan Ukraina belum pernah gencatan senjata. Upaya negosiasi mereka selalu buntu.
Di era pertama Trump menjadi presiden pada 2017-2021, dia fokus urusan internal AS dan tidak cawe-cawe negara lain, sehingga meminimalisir konflik kawasan semakin memburuk.
Lantas di periode kedua jabatannya sebagai Presiden AS, apakah perang akan mereda di bawah Trump?
Pengamat hubungan internasional sekaligus dosen Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, Sya’roni Rofii, mengatakan ada potensi konflik “sementara mereda”.
“Terkait kebijakan Trump dalam perang Ukraina-Rusia, menurut saya potensi untuk mengakhiri perang tersebut ada,” ujar Sya’roni kepada CNNIndonesia.com, Jumat (17/1).
Menurut Sya’roni, Trump punya pendekatan politik yang pragmatis dan cenderung taktis, yang bisa ikut meredakan konflik.
Kedekatan dia dengan Presiden Rusia Vladimir Putin juga menjadi modal untuk bisa mengakhiri konflik yang sedang berlangsung.
Namun, peneliti Senior di Program Keamanan Internasional Lowy Institute, Mick Ryan, mengatakan Trump bisa saja berbeda arah dengan Putin.
“Jika Trump tak bisa mencapai solusi cepat dalam perang Ukraina, dia bisa berbalik melawan Putin dan meningkatkan dukungan AS untuk Ukraina,” ungkap Ryan.
Rusia sebelumnya menyatakan rencana perdamaian yang diusulkan pemerintahan Trump harus mencerminkan kenyataan di lapangan. Putin juga siap berunding.
Ryan juga menyoroti potensi sikap Ukraina. Jika Trump memaksa pemerintahan Volodymyr Zelensky untuk gencatan senjata yang tak berkelanjutan, negara itu akan memilih terus berjuang tanpa dukungan AS.
Ukraina, lanjut dia, sadar betul apa yang mereka pertaruhkan jika kalah dalam perang dengan Rusia.
Lanjut ke sebelah…
Timur Tengah di era Trump
Periode kedua kepemimpinan Trump juga terjadi saat Timur Tengah memanas. Israel melancarkan agresi ke Palestina, rezim Bashar Al Assad di Suriah runtuh, hingga permusuhan Iran dan Negeri Zionis.
Lalu, kurang dari sepekan sebelum dilantik, Trump mengeklaim berperan penuh dalam gencatan senjata yang disepakati Hamas-Israel.
Gencatan senjata itu mencakup tiga fase dan mulai berlaku pada 19 Januari. Fase pertama dimulai dengan pembebasan sandera dan berlangsung selama 42 hari.
Banyak pihak berharap gencatan senjata ini bisa permanen dan dipatuhi kedua pihak. Namun, Israel punya sejarah melanggar kesepakatan.
“Untuk isu Timur Tengah, saya kira setelah perjanjian gencatan senjata disepakati tidak ada yang bisa menjamin akan berlangsung sesuai rencana. Sangat bergantung pada pihak yang berkonflik dan negara penjamin,” kata Sya’roni.
Sejauh ini, AS dan pemain kunci di Kawasan, lanjut dia, mendukung penuh realisasi gencatan senjata tanpa agresi.
Semenanjung Korea
Pemerintahan baru AS juga kemungkinan mempengaruhi kondisi di Semenanjung Korea.
Korea Utara selama ini kerap melakukan uji coba rudal balistik hingga hipersonik, biasanya untuk membalas latihan bersama AS-Korsel.
Pemimpin Kim Jong Un menganggap latihan itu sebagai upaya menginvasi Korea Utara. Negara ini juga terus mengembangkan nuklir dan membuat Korea Selatan ketar-ketir.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Nasional Seoul, Sheen Seong Ho, mengatakan kebijakan luar negeri Trump akan mempengaruhi Indo-Pasifik terutama Semenanjung Korea.
Trump punya kedekatan dengan Kim, dan ini bisa membawa “perkembangan positif.”
“Trump setidaknya bisa memberi masukan ke program nuklir Korut dan akan dipertimbangkan Kim,” kata Sheen saat diskusi dengan jurnalis di Jakarta pada November 2023.
“Maka itu akan jadi perkembangan yang sangat positif,” ujar Sheen.
Sheen lalu menekankan jika Trump nantinya benar-benar melakukan pertemuan dengan Kim, kemungkinan akan ada perubahan di kawasan tersebut.
[Gambas:Infografis CNN]
“Itu pasti akan membantu meredakan ketegangan di semenanjung Korea. Korea Utara, Anda tahu, telah menciptakan tekanan dan ketegangan di Semenanjung Korea, dan menyalahkan kami,” ungkap dia.
Trump dan Kim pernah menggelar pertemuan puncak di Singapura pada 2018 untuk membahas denuklirisasi dan sanksi Korut.
AS meminta Korut melucuti senjata termasuk program nuklir secara menyeluruh. Namun, Pyongyang ketika itu hanya membongkar situs utama roket Korut dan tak menyampaikan komitmen apapun.
Setahun kemudian, mereka kembali menggelar dialog untuk membujuk Korut menyerahkan program nuklir mereka.
Pertemuan itu tak memberi hasil signifikan. Trump dan Kim disebut-sebut akan kembali menggelar dialog tetapi hingga sekarang tak ada informasi pasti.
Meski Kim dan Trump disebut akrab, Sheen menekankan kedekatan mereka belum tentu bisa menyelesaikan masalah nuklir Korut secara permanen.
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/internasional/20250120103157-134-1189086/apakah-konflik-dan-perang-bakal-reda-di-era-trump