Jakarta, CNN Indonesia —
Aset properti milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Prancis terancam disita imbas gugatan yang dilayangkan perusahaan satelit swasta asal Eschen, Liechtenstein, Navayo International AG senilai US$23,4 juta.
Penyitaan tersebut sebagai bentuk eksekusi setalah gugatan Navayo di International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional, Singapura, pada 22 April 2021 dikabulkan.
“Di dalam persidangan dispute mengenai masalah pengadaan bagian-bagian dari satelit Kementerian Pertahanan pada tahun 2016, oleh Arbitrasi Singapura kita dikalahkan dan kita harus membayar sejumlah utang atau ganti rugi kepada pihak Navayo,” kata Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dalam jumpa pers di Kementerian Pertahanan, Kamis (20/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peristiwa itu bermula saat Kementerian Pertahanan RI pada 2015 berencana membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan) untuk mengisi slot orbit 123 derajat bujur timur yang kosong setelah Satelit Garuda-1 tidak berfungsi.
Kemhan kemudian menandatangani kontrak dengan beberapa perusahaan. Mereka antara lain Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel dan Telesat, dalam kurun waktu 2015-2016.
Namun, karena anggaran tidak tersedia, proyek Satkomhan tidak dapat dilanjutkan, dan Kemhan tidak memenuhi kewajibannya kepada Navayo sesuai kontrak.
Pada 22 November 2018, Navayo mengajukan gugatan di ICC Singapura senilai US$23,4 juta. Pada 22 April 2021, ICC Singapura memutuskan bahwa Kemhan RI wajib membayar US$16 juta kepada Navayo beserta biaya arbitrase. Jika tidak dipenuhi, aset Indonesia di Prancis berpotensi disita sebagai bentuk eksekusi putusan arbitrase.
Namun, pemerintah, kata Yusril, akan menyelesaikan kasus tersebut secara komprehensif agar tidak merugikan Indonesia di mata internasional. Menurut dia, pemerintah juga menemukan dugaan wanprestasi, sehingga akan mengancam balik Navayo untuk dijadikan tersangka secara pidana.
“Walaupun hal ini sudah dikabulkan oleh Pengadilan Prancis, tapi pihak kita tetap akan melakukan satu upaya-upaya perlawanan untuk menghambat eksekusi ini terjadi,” katanya.
Di samping itu, lanjut Yusril, proses hukum terhadap Navayo International AG akan terus dilanjutkan, terutama karena audit BPKP menunjukkan nilai pekerjaan satelit yang dikerjakan Navayo jauh lebih kecil dari nilai kontrak, hanya sekitar Rp1,9 miliar dari total kontrak Rp306 miliar.
“Dalam rapat ini kita sepakati bahwa kalau memang sudah cukup alasan untuk menyatakan mereka sebagai tersangka berdasarkan pemeriksaan pendahuluan yang sudah ada sekarang ini, maka ya lebih baik dinyatakan sebagai tersangka dan kita minta kepada Interpol untuk mengejar yang bersangkutan agar ditangkap dan dibawa ke Indonesia untuk diadili dalam kasus korupsi,” ucapnya.
(fra/thr/fra)