Jakarta, CNN Indonesia —
Guru Besar hukum tata negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti menilai pengesahan perubahan UU TNI bertentangan dengan prinsip negara hukum alias rechtstaat.
Ia menegaskan bahwa prinsip negara hukum yang dianut Indonesia itu termaktub dalam Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945.
“Menjadi persoalan bagi negara hukum di Indonesia. Jadi, tindakannya sudah dilakukan berdasarkan kebijakan presiden, baru kemudian dicarikan dasar hukum yang lebih kuat, dan ini bertentangan. Menurut saya bertentangan dengan prinsip negara hukum,” kata Susi dalam acara Political Show CNN Indonesia TV, Senin (24/3) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Susi menekankan dalam prinsip negara hukum, produk hukum haruslah dipandang sebagai refleksi keinginan rakyat, bukan keinginan segelintir pihak.
Ia juga menjelaskan dalam prinsip negara hukum, proses pembentukan UU terdiri atas proses dan substansi dari produk hukum.
Menilik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, katanya, salah satu yang menjadi pertimbangan ialah dasar sosiologis.
Susi menjelaskan dasar sosiologis itu memperlihatkan bagaimana satu peraturan mampu untuk mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang ada di dalam masyarakat.
“Tapi perkembangan seperti apa? Yaitu perkembangan harapan dan ekspektasi dari masyarakat untuk ke depan. Tidak boleh sebuah peraturan itu dibuat hanya untuk merekam keadaan sesaat,” ujar dia.
Susi menyebut kondisi itu hanya akan membahayakan hukum belaka. Di mana, hukum hanya akan dijadikan alat oleh penguasa dalam melancarkan kepentingannya.
“Dan itu sangat memperlihatkan pada praktik apa yang disebut sebagai autocratic legalism dan ini sangat membahayakan di dalam negara hukum yang demokratis,” ucapnya.
Sebagai informasi, aksi tolak UU TNI terjadi di sejumlah kota di Indonesia dari wilayah barat hingga timur sejak pekan lalu.
Aksi itu dipicu langkah pemerintah dan DPR yang mengebut perubahan UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) jadi undang-undang dalam rapat paripurna di gedung wakil rakyat Indonesia, Jakarta, Kamis (20/3) lalu.
Pengesahan itu diwarnai demonstrasi di depan gedung DPR dan sejumlah kota di Indonesia sejak sehari sebelumnya.
Demonstrasi terjadi karena massa aksi menolak kebangkitan dwifungsi militer lewat RUU TNI itu. Salah satu tudingan atas wacana laten kebangkitan dwifungsi militer itu terletak pada pasal-pasal yang memperbolehkan prajurit berdinas di luar institusi pertahanan tersebut.
Selain di Mataram hari ini, pada Senin lalu, aksi tolak UU TNI pada hari ini juga di antaranya terjadi di Surabaya (Jawa Timur), Bandung (Jabar), dan Palangkaraya (Kalimantan Tengah).
Sementara itu, Ketua DPR RI berharap pihak aparat penegak hukum dan massa demonstran penolak pengesahan revisi UU TNI untuk saling menahan diri dan tidak saling terprovokasi.
Hal tersebut Puan sampaikan merespons maraknya represi aparat terhadap massa aksi yang menggelar penolakan pengesahan RUU TNI di sejumlah daerah.
“Ya kami mengimbau kedua belah pihak saling menahan diri. Jadi yang satu pihak juga jangan terlalu menyerang,” kata Puan di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (25/3).
“Yang satu pihak juga jangan kemudian menyerang. Sama-sama menahan diri,” sambungnya.
Puan menilai kondisi yang kondusif tidak akan terjadi jika terdapat salah satu pihak yang melakukan provokasi kepada pihak lain.
Di sisi lain, Puan mempersilakan untuk menyampaikan pendapat dan penolakan mereka. Namun, ia berharap penyampaian aspirasi dilakukan tanpa kekerasan.
“Jadi ya sama-sama menahan diri lah. Silakan menyampaikan aspirasi, menyampaikan apa yang ingin disampaikan tapi jangan memprovokasi dan jangan melakukan tindakan kekerasan,” ujar dia.
(mnf/kid)