Jakarta, CNN Indonesia —
Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai mengusulkan agar revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur pemeriksaan perkara di tingkat banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK) digelar terbuka.
Ia mengatakan selama ini pemeriksaan perkara di tahap upaya hukum banding, kasasi dan PK, dilakukan secara terbatas oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara.
Amzulian mengatakan pihaknya banyak menerima permohonan dari masyarakat untuk dapat dilakukan pengawasan perkara pada tingkat banding, kasasi dan PK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sejauh ini, yang dilakukan oleh Komisi Yudisial hanya sebatas memberikan surat yang disampaikan kepada pimpinan pengadilan atau mahkamah agung dengan permintaan agar dapat memberikan perhatian terhadap penanganan perkara dimaksud,” kata Amzulian dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR RI, Senin (10/2).
Ia menyinggung kasus Hakim Agung Ahmad Yamani yang dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat karena mengubah putusan gembong narkoba Hengky Gunawan pada 2012.
Oleh karena itu, KY mengusulkan agar diatur secara tegas di dalam revisi KUHAP tentang pemeriksaan perkara tingkat banding dan mahkamah agung dilakukan dengan memberikan akses kepada para pihak, utamanya pihak terpidana.
“Begitupun seharusnya kepada Komisi Yudisial yang oleh undang-undang diberikan kewenangan untuk melakukan pengawasan termasuk dalam perkara yang sifatnya tertutup untuk umum,” kata dia.
Ia menjelaskan akses tersebut dapat diberikan sekurang-kurangnya pada tahap pembacaan putusan di mana pihak berperkara diundang hadir sehingga mengetahui secara langsung materi putusan yang dibacakan oleh Majelis Hakim.
“Dengan pemeriksaan yang dilakukan secara terbuka, setidaknya pada saat pembacaan putusan di tingkat upaya hukum, baik banding kasasi atau PK, maka dapat diminimalisir adanya putusan gelap yang tiba-tiba berubah dari materi yang dibacakan oleh Majelis Hakim,” ujar Amzulian.
Penyadapan
Amzulian juga mengusulkan revisi KUHAP mempertegas aturan mengenai penyadapan.
“Materi penyadapan belum diatur di dalam KUHAP, di mana pengaturan ini tersebar di beberapa perundang-undangan di antara yang bisa disebut adalah undang-undang informasi dan transaksi elektronik, undang- undang tindak pidana korupsi,” katanya.
Ia menjelaskan merujuk kepada ketentuan dalam beberapa undang-undang tersebut, menunjukkan dalam penegakan hukum pidana sangat dimungkinkan adanya upaya penyadapan.
Selain untuk kepentingan penegakan hukum, kata dia, penyadapan juga mendapatkan peluang penggunaannya untuk kepentingan penegakan disiplin dan pelanggaran etik.
Menurutnya, UU Komisi Yudisial mengatur mengenai hal itu meski KY bukan institusi penegak hukum, melainkan lembaga yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap hakim.
Ia mengatakan ketentuan itu belum dapat terwujud karena ketidakselarasan aturan yang digunakan sebagai landasan.
Aparat penegak hukum bersikukuh bahwa kegiatan penyadapan hanya bertujuan untuk kepentingan penegakan hukum.
Sementara itu, dalam UU KY, penyadapan dimaksudkan untuk membuktikan dugaan pelanggaran kode etik hakim.
“Oleh karena itu, Komisi Yudisial mengusulkan agar di dalam perubahan KUHP perlu mempertegas ketentuan lain yang tidak sinkron dengan aturan yang ada dalam KUHP, utamanya terkait dengan pengaturan mengenai penyadapan,” katanya.
(yoa/fra)