Mungkinkah Kematian Sritex Menular ke Industri Lain, Apa Penyebabnya?

Berita, Ekonomi3 Dilihat
banner 468x60
banner 468x60

Housekeeping.my.id –

Jakarta, CNN Indonesia

Raksasa tekstil PT Sri Rejeki Isman atau Sritex resmi tutup pada Sabtu (1/3). Hal ini merupakan puncak dari krisis keuangan yang telah melanda perusahaan selama beberapa tahun terakhir.

Krisis keuangan Sritex bermula pada 2021 ketika perusahaan gagal melunasi utang sindikasi sebesar US$350 juta atau setara Rp5,79 triliun (asumsi kurs Rp16.551 per dolar AS).

Saat itu, manajemen Sritex menyatakan akan mengajukan restrukturisasi utang untuk mengatasi permasalahan finansial yang dihadapi. Namun, setelah beberapa tahun, perusahaan tetap tidak bisa melunasi utang hingga dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akibat penghentian operasionalnya ini, tercatat lebih dari 8.000 lebih karyawan yang terdampak dan harus kehilangan pekerjaan. Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo berjanji akan menyiapkan 10 ribu lowongan pekerjaan bagi eks karyawan perusahaan tekstil terbesar di Indonesia tersebut.



Kepala Disperinaker Sukoharjo Sumarno mengatakan lowongan pekerjaan itu tersebar di perusahaan tekstil, plastik, dan rokok di sekitar pabrik Sritex.

“Pagi tadi ada 10.133 loker dari perusahaan Sukoharjo dan sekitarnya, seperti di Selogiri dan Jaten. Ada garmen, plastik, lintingan rokok,” ujar Sumarno saat ditemui di kantornya, Jumat (28/2).

Sumarno menegaskan eks karyawan Sritex akan diistimewakan dengan tanpa dikenakan batasan usia saat melamar perusahaan lain.

Namun, apapun langkah yang dilakukan tak menutup fakta bahwa ‘kematian’ Sritex ini menjadi alarm bahwa industri tekstil memang sedang tak baik-baik saja.

Ini seharusnya menjadi sinyal atau rambu bagi pemerintah untuk bisa menyusukan kebijakan yang lebih nyata untuk mencegah agar muncul Sritex-Sritex lain.

Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan kondisi industri tekstil tidak sedang baik-baik saja tercermin dari banyaknya penutupan pabrik tekstil. Bukan hanya Sritex, tapi jauh sebelumnya sudah banyak perusahaan kecil lainnya yang harus mengakhiri usahanya.

READ  4 Negara Terpengaruh Penghapusan Aturan Kontroversial di Piala AFF

Kalau masalah ini tak segera diatasi pemerintah, ia mengatakan Sritex-Sritex lain masih akan bertumbangan dalam beberapa waktu ke depan.

Ada beberapa penyebab yang sejatinya sudah diketahui, termasuk oleh pemerintah; sang maha pembuat kebijakan.

Salah satunya; penurunan daya beli yang terlihat dari deflasi secara berturut-turut pada tahun lalu.

“Permasalahan Sritex dan beberapa pabrik yang tutup dalam dua bulan terakhir merupakan dampak dari kondisi daya beli yang melemah di tahun lalu. Kondisi daya beli ketika setelah lebaran sangat parah di mana deflasi bulanan terjadi secara berturut-turut,” ujar Huda kepada CNNIndonesia.com.

Menurutnya, penurunan daya beli akhirnya menekan permintaan rumah tangga, termasuk untuk produk tekstil.

Alhasil, itu menekan permintaan Sritex sehingga kinerja produksi dan penjualannya melemah.

Celakanya, penurunan daya beli itu diperparah oleh kebijakan kacau pemerintah.

Kebijakan yang dimaksud adalah berupa penerbitan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

Huda menilai kebijakan itu membuat arus impor dari luar negeri menjadi lebih deras, khususnya di tekstil. Contohnya, barang dari China dengan mudah masuk ke dalam negeri dan membanjiri pasar Tanah Air.

“Akibatnya mereka harus bersaing dengan barang impor yang harganya lebih murah. Ini yang menyebabkan banyak pabrik tekstil di Indonesia gulung tikar,” tegasnya.

Oleh sebab itu, Huda mengatakan agar tak industri lain di dalam negeri tak tumbang seperti Sritex, selain mendorong daya beli, pemerintah harus membenahi diri dan mereview ulang kebijakannya. Sebab, masih banyak perusahaan tekstil lainnya yang perlu diselamatkan.

“Maka, selain pemerintah menaikkan daya beli dengan pemberian berbagai insentif, saya rasa perlu revisi Permendag 8 tahun 2024. Pemerintah seharusnya bisa menyelesaikan revisi permendag tersebut jika ingin masalah tekstil ini tuntas. Jika masih ada permendag tersebut, susah bagi industri tekstil kita rebound,” terangnya.



Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250305070949-92-1205138/mungkinkah-kematian-sritex-menular-ke-industri-lain-apa-penyebabnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *