Ombudsman Jatim Temukan Buah-Sayur Tak Layak Makan di MBG SMP Surabaya

Berita, Nasional1 Dilihat
banner 468x60
banner 468x60




Surabaya, CNN Indonesia

Ombudsman Republik Indonesia (RI) Perwakilan Jawa Timur menemukan sejumlah temuan terkait pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di SMPN 13 Surabaya.

Salah satu temuannya adalah adanya buah basi yang disajikan dalam menu MBG. Hal ini terungkap dalam pemantauan yang dilakukan oleh tim Ombudsman RI Jatim, Selasa (25/2).

Kepala Keasistenan Pencegahan Malaadministrasi Ombudsman RI Perwakilan Jatim, Ahmad Azmi mengatakan temuan itu bermula dari pengakuan sejumlah siswa yang mengonsumsi makanan dari program MBG.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kami melakukan pemantauan, itu kami bertanya kepada anak-anak gitu ya. Pertanyaannya begini, apakah pernah mengonsumsi dari program MBG ini makanan yang basi, mereka menjawab pernah. Kapan itu terjadinya, mereka menjawab sekarang, Pak, gitu. Apa yang basi, ternyata buahnya,” kata Azmi saat dikonfirmasi.





Azmi menjelaskan buah-buahan yang basi tersebut tidak didapatkan seluruh siswa, melainkan hanya beberapa siswa saja. Dari hasil pemantauan, sekitar lima hingga tujuh siswa dalam satu kelas mengaku menerima buah yang sudah tidak layak konsumsi.

“Tapi tidak seluruh buah [basi] ya, tidak seluruh buah yang dibagikan ke siswa-siswa. Beberapa siswa menerima makanan yang di dalamnya terdapat buah yang sudah basi gitu. Itu satu kelas itu sekitar 5 sampai 7 ya,” jelasnya.

Selain temuan buah basi, Ombudsman juga menemukan beberapa waktu sebelumnya, siswa sempat mengonsumsi sayuran yang juga dalam kondisi tidak layak makan.

READ  Pelaku Pakai Kacamata Pintar Meta Rencanakan Serangan di New Orleans

“Selain itu kami menemukan buah yang basi itu, kami juga mendapat informasi ternyata beberapa waktu yang lalu mereka juga sempat memakan sayuran yang juga basi gitu ya,” ucapnya.

Temuan ini mengindikasikan adanya kelemahan dalam pelaksanaan program MBG, yang seharusnya bertujuan untuk meningkatkan gizi siswa. Azmi pun menegaskan bahwa pelaksanaan ini seharusnya dilengkapi dengan instrumen evaluasi untuk mengukur keberhasilan program.

“Kami bertanya apakah ada instrumen evaluasi terkait tolok ukur keberhasilan program tersebut. Ternyata mereka tidak punya,” ujarnya.

“Nah, dalam konteks pemberian pelayanan di Undang-undang 25 tahun 2009 kan disebutkan salah satu komitmen standar pelayanan itu kan terkait dengan evaluasi kinerja,” tambah Azmi.

Sorot minim keterlibatan orang tua dan siswa

Selain itu, Ombudsman Jatim juga menyoroti minimnya pelibatan masyarakat, terutama orang tua dan siswa selaku penerima manfaat dalam pelaksanaan program MBG ini.

Contohnya, kata Azmi, dalam proses pendataan siswa yang memiliki alergi terhadap menu makanan tertentu. Hal itu tidak dilakukan BGN. Jadi sekolah harus berinisiatif sendiri untuk mendata. Padahal, seharusnya ini menjadi tanggung jawab BGN sebagai penyelenggara program.

“Akhirnya sekolah itu memiliki inisiatif untuk mendata siswa-siswi yang punya apa alergi makanan tertentu. Sudah didata, sudah disampaikan ke BGN, tapi ternyata ada beberapa siswa yang misalnya alergi terhadap bahan makanan tertentu ya tapi tetap diberikan menu makanan yang [pemicu alergi] masuk dalam menu ya,” katanya.

Lebih lanjut, kata Azmi banyak juga makanan yang tersisa dan tidak dimakan oleh siswa. Jumlahnya, kata dia, hampir sama dengan makanan yang didistribusikan. Ini menimbulkan dugaan bahwa menu makanan kurang disukai atau kualitasnya kurang baik.

“Nah, harusnya penyedia itu membuka ruang dialog bagi siswa-siswi untuk menyampaikan umpan balik terhadap makanan yang sudah mereka makan. Demi perbaikan di menu makanan berikutnya,” ucapnya.

READ  Dirut Baru Bulog Berstatus TNI Aktif

Untuk memperbaiki kondisi ini, Ombudsman RI Jatim akan memberikan rekomendasi kepada institusi terkait seperti Dinas Pendidikan (Dispendik) dan sekolah.

Koordinasi itu dilakukan untuk pendataan siswa yang memiliki alergi serta memantau perkembangan gizi siswa.

Meskipun demikian, Azmi menegaskan bahwa tanggung jawab utama seharusnya berada pada penyelenggara program di tingkat pusat yakni Badan Gizi Nasional (BGN).

“Meskipun harusnya itu bukan [tanggung jawab] mereka, bukan kewajiban mereka. Tapi institusi yang paling mungkin kita jangkau untuk kita berikan saran perbaikan itu ada di level Dinas Pendidikan maupun sekolah tersebut,” kata Azmi.

(kid/frd)






Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *