Housekeeping.my.id –
Jakarta, CNN Indonesia —
Pakar menyebut Australia akan menghasilkan lebih dari 1,7 miliar ton karbon dioksida (CO2) ekstra antara saat ini hingga 2050 di bawah rencana Koalisi pemerintahan yang berfokus pada nuklir.
Pada pekan lalu, pihak oposisi merilis pemodelan rencana “batu bara-ke-nuklir” yang akan memperlambat peluncuran energi terbarukan dan baterai, dan sebagai gantinya mengandalkan lebih banyak pembangkit listrik tenaga bahan bakar fosil hingga industri nuklir dapat dikembangkan, sebagian besar setelah tahun 2040.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para ahli mempertanyakan apakah hal itu dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan jaringan listrik yang andal, mengingat pembangkit listrik batu bara yang sudah tua di negara ini sering mengalami pemadaman yang baik yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan.
Dengan merujuk laporan pemodelan yang diandalkan oleh Koalisi tersebut, para ahli juga telah menghitung emisi yang akan dihasilkan dari memperpanjang masa pakai pembangkit listrik batu bara. Angka tersebut di luar perkiraan Partai Buruh.
Dalam skenario perubahan sumber listrik menjadi energi terbarukan yang direncanakan Partai Buruh, 82 persen listrik dari energi terbarukan akan didapat pada tahun 2030 dan diperkirakan sekitar 90 persen dari kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara yang tersisa di negara itu akan ditutup pada 2035.
Sementara itu, dalam skenario perubahan menuju sumber listrik nuklir, Koalisi mengasumsikan sekitar sepertiga dari kapasitas batu bara yang ada akan ditutup pada waktu yang sama.
Dylan McConnell, pakar sistem energi di University of New South Wales, mengatakan bahwa jalur yang dipilih Koalisi akan mengakibatkan lebih dari 1 milyar ton CO2 dipompa ke atmosfer pada 2051.
Sebuah analisis terpisah oleh ekonom Steven Hamilton, yang dipublikasikan di Australian Financial Review, menyatakan hasil yang sama. Ia menyebut rencana nuklir akan menghasilkan emisi kumulatif dari jaringan listrik lebih dari 1,6 miliar ton antara tahun 2025 dan 2051.
Di sisi lain, kebijakan Partai Buruh yang bergerak lebih cepat untuk menggunakan energi terbarukan yang didukung oleh baterai, hidro yang dipompa, jalur transmisi, dan pembangkit listrik tenaga gas “fast start” diperkirakan akan menghasilkan sekitar 600 juta ton CO2 dalam kurun waktu tersebut.
“Hal ini menunjukkan bahwa [kebijakan nuklir] akan menjadi sebuah kegagalan mutlak dalam mendekarbonisasi sektor listrik dan memenuhi tujuan pengurangan emisi kita,” ujar McConnell, dikutip dari The Guardian.
McConnell menjelaskan bahwa total emisi tambahan di bawah jalur yang dipilih Koalisi akan jauh lebih tinggi lagi karena jalur ini juga mengasumsikan lebih sedikit elektrifikasi. Artinya, penggunaan kendaraan listrik yang lebih rendah, masa pakai yang lebih lama untuk mobil bensin, dan bahwa industri dan rumah tangga akan membakar lebih banyak bahan bakar fosil, terutama gas, dan tidak beralih ke energi terbarukan.
Penyelenggara Climate 200, Simon Holmes à Court, yang juga merupakan direktur The Superpower Institute, memperkirakan jalur “perubahan progresif” yang didukung oleh Koalisi ini akan menghasilkan 723 juta ton CO2 tambahan pada 2050 dari sektor transportasi dan industri selain tambahan 1 milyar ton CO2 dari jaringan listrik.
Total emisi tahunan Australia adalah sekitar 440 juta ton CO2. Jika benar, tambahan 1,7 miliar ton polusi yang dapat dilepaskan di bawah jalur pilihan Koalisi dibandingkan dengan rencana Partai Buruh dapat menambah polusi ke atmosfer yang setara emisi empat tahun selama 25 tahun ke depan.
(lom/dmi)
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20241220110933-641-1179381/pakar-wanti-wanti-tambahan-17-miliar-ton-co2-dari-tenaga-nuklir