Jakarta, CNN Indonesia —
Politikus PDIP Prasetyo Edi Marsudi mengaku tak tahu menahu soal dugaan korupsi pengadaan lahan untuk rumah susun (rusun) di Cengkareng, Jakarta Barat.
Hal itu disampaikan Prasetyo yang juga mantan Ketua DPRD DKI Jakarta, usai diperiksa sebagai saksi oleh penyidik Kortas Tipikor Polri di Bareskrim Polri, Senin (17/2).
“Tanah Cengkareng Barat saya baru pertama jadi Ketua DPRD Jakarta, kalau tidak salah ya. Nah di situ tahun 2015 terjadi Pergub, tidak ada Perda, tidak ada kaitannya dengan saya. Tapi saya sebagai Ketua Dewan dipanggil sebagai saksi ya saya datanglah,” kata Prasetyo kepada wartawan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Tadi ditanya bagaimana apakah mengerti pengadaan tanah di Cengkareng, ya saya enggak ngerti. Orang itu pergub kok bukan perda kalau perda saya tahu,” imbuhnya.
Prasetyo menerangkan kasus dugaan korupsi ini bermula saat Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Perumahan dan Gedung membeli lahan di Cengkareng untuk pembangunan rusun senilai Rp668 miliar.
Pembelian itu dilakukan Pemprov DKI Jakarta dengan seseorang bernama Toeti Noezlar Soekarno pada 2015. Saat itu, Pemprov DKI Jakarta dan pihak kuasa hukum Toeti menyepakati harga pembelian lahan senilai Rp14,1 juta per meter.
Namun, dari laporan hasil pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap APBD DKI tahun 2025 diketahui bahwa lahan tersebut bermasalah.
“BPK mencatat kalau lahan itu masih berstatus tanah sengketa antara Toeti dengan Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan DKI. Berdasarkan keterangan DKPKP, tanah tersebut tercatat sebagai bagian aset per 31 Desember 2015,” tutur Prasetyo.
Di tahun yang sama, terjadi perselisihan antara Basuki Tjahaja Purnomo (Ahok) yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dengan DPRD Jakarta terkait dengan APBD 2015.
“Ahok saat itu tak mau kompromi dengan DPRD, hingga akhirnya memutuskan APBD sepenuhnya dibahas dan disahkan eksekutif menggunakan Pergub Nomor 160 Tahun 2015 tentang APBD Tahun Anggaran 2015,” kata Prasetyo.
Setelahnya, lanjut Prasetyo, dirinya kemudian membentuk pansus untuk mendalami temuan BPK terkait persoalan lahan tersebut.
“Nah di sini juga temuan BPK langsung saya buat Pansus, kebetulan Pansus itu di ketuai oleh almarhum Pak Gembong, gitu. Nah di sini masalah kepanjangannya saya enggak ngerti,” ujarnya.
Pada 2022 lalu, Polri telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi dengan potensi kerugian negara mencapai Rp649,89 miliar ini.
Kedua tersangka yakni Sukmana selaku mantan Kepala Bidang Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dinas Perumahan dan Gedung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta serta Rudy Hartono Iskandar yang merupakan terdakwa kasus korupsi tanah di Munjul, Jakarta Timur (Jaktim).
Keduanya dijerat Pasal 2 dan atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
(dis/dal)