Putusan 90 Almas Jadi ‘Celah’ Enika dkk Gugat Presidential Threshold

Berita, Nasional22 Dilihat
banner 468x60
banner 468x60




Yogyakarta, CNN Indonesia

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan empat mahasiswa dari UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta–Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna–yang menguji materi pasal ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), Pasal 222 UU Pemilu. Dalam putusan 62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan pasal presidential threshold itu inkonstitusional, Kamis (2/1).

Salah satu mahasiswa pemohon perkara 62, Enika Maya Oktavia, mengatakan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 disebutnya jadi celah menggugat syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold.

Sebelumnya berkali-kali pasal itu digugat ke MK, dan selalu berujung ditolak yang salah satunya karena persoalan kedudukan hukum (legal standing) pemhon. Pada perkara-perkara sebelumnya untuk uji materi pasal presidential threshold, MK konsisten bahwa pihak yang memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian konstitusionalitas adalah partai politik (parpol) atau gabungan partai politik peserta Pemilu. Artinya, bukan perseorangan warga negara yang mempunyai hak memilih.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Kami menyadari DPR, pemerintah itu menganggap kami tidak punya legal standing karena karena kami bukan dari parpol,” kata Enika di Kampus UIN Suka, Sleman, DIY, Jumat (3/1).

“Masuk kemudian ada putusan Almas 90,” ujar mahasiswi prodi Hukum Tata Negara (HTN) UIN Suka itu.

‘Putusan Almas 90’ yang Enika maksud ini adalah gugatan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan seorang mahasiswa dari Solo yang bernama Almas Tsaqibbirru soal batas usia capres-cawapres.

Dalam putusan 90, MK yang masih dipimpin adik ipar Jokowi, Anwar Usman, mengabulkan sebagian permohonan Almas dalam uji UU Pemilu menjadi capres/cawapres minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Putusan tersebut membuka jalan bagi Gibran untuk maju Pilpres 2024 sebagai cawapres mendampingi Ketum Gerindra yang juga Menteri Pertahanan saat itu Prabowo Subianto sebagia capres. Prabowo-Gibran memenangi Pilpres 2024, dan telah dilantik sebagai pasangan kepala negara RI.

Enika dan rekan-rekannya mengaku menemukan celah menggugat presidential threshold setelah melihat sikap MK pada kedudukan hukum atau legal standing pemohon dalam uji materi UU pemilu yang diajukan Almas–seorang mahasiswa dari Solo.

“(Perkara sebelumnya) ketika pemilih seperti kita ingin mengajukan judicial review undang-undang pemilu itu tidak bisa. Kita tidak punya legal standing ke MK. Tapi, kemudian muncul Putusan 90, putusan Almas yang menyatakan bahwa pemilih itu juga bisa punya legal standing,” jelas Enika.

“Akhirnya, kami mulai meng-draf atau kemudian menulis terkait dengan gugatan permohonan ini itu di awal atau pertengahan Februari [2024]. Di sana kami mulai meng-draf, kami mulai kemudian menulis gugatan permohonan-permohonannya,” sambungnya.

Dalam argumennya, Enika dan rekan-rekan menyatakan masyarakat atau pemilih seringkali dianggap bukan selaku subjek, melainkan objek pelaksanaan demokrasi. Ia kembali ke fakta setiap legal standing dari banyak gugatan terkait pemilu yang digugurkan di MK.

“Maka dari itu kami mencoba mengajukan dan kami berargumentasi di legal standing kami bahwa kami ini subjek demokrasi, bukan objek demokrasi. Maka legal standing kami seharusnya diterima,” tegas dia.

Menurut Enika dkk, pemberlakuan presidential threshold membuat pemohon mengalami kerugian konstitusional dan pengumpulan dukungan sampai mencukupi syarat ambang batas malah merugikan moralitas demokrasi. Hak para pemohon untuk memilih pemimpin yang sejalan dengan preferensi atau dukungan politiknya ujung-ujungnya terhalang.

Pihaknya sebenarnya mengamini urusan ambang batas merupakan ruang kebijakan hukum terbuka yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy). Open legal policy artinya kewenangannya menjadi ranah pembuat undang-undang dan tidak boleh diutak-atik MK. Tapi, sambungnya, ada batasan yang tak boleh dilanggar pembuat undang-undang, termasuk hak konstitusionalitas warga.

“Tapi, open legal policy itu sendiri memiliki beberapa batasan yang dapat dilanggar. Apabila melanggar rasionalitas, melanggar moralitas, dan melanggar keadilan yang inter-level. Dan, kami nyatakan itu dalam permohonan kami. Kami elaborasi dengan keadaan Pilpres 2024 hingga hasilnya seperti sekarang ini,” ujar Enika.

Keputusan MK yang dibacakan dalam sidang putusan, Kamis (2/1), mengabulkan gugatan yang dilayangkan empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoriul Fatna.

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai proses kandidasi calon di pilpres selama ini terlalu didominasi partai politik tertentu dan akibatnya, membatasi hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif calon pemimpin mereka.

Mahkamah juga menilai penerapan ambang batas pencalonan presiden justru membuat kecenderungan agar pilpres hanya diikuti dua pasangan calon. Padahal, pengalaman sejak pemilihan langsung menunjukkan, dua pasangan calon membuat masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi.

(kum/kid)


[Gambas:Video CNN]





Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *