Housekeeping.my.id –
Jakarta, CNN Indonesia —
Survei terbaru mengungkap sebagian besar influencer dan kreator konten tidak melakukan verifikasi fakta sebelum posting ke media sosial.
Survei yang digagas UNESCO itu mengungkap bahwa enam dari sepuluh influencer di media sosial tidak memverifikasi fakta sebelum memposting konten mereka. Temuan ini menyoroti perlunya pelatihan literasi media bagi para kreator untuk mengurangi penyebaran misinformasi yang dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap media dan diskursus umum.
Survei yang dilakukan terhadap 500 influencer dari 45 negara menunjukkan bahwa dua pertiga kreator tidak memeriksa keakuratan informasi sebelum memposting. Sebagian besar influencer juga tidak menggunakan sumber resmi seperti dokumen pemerintahan atau situs web terpercaya sebagai referensi.
Sebaliknya, mereka lebih sering mengandalkan pengalaman pribadi, penelitian mandiri, atau wawancara dengan orang yang dianggap ahli.
Sumber lain yang sering digunakan adalah berita arus utama maupun non-arus utama, tetapi tidak sedikit yang menilai kredibilitas informasi hanya berdasarkan popularitas sumber tersebut, seperti jumlah “likes” atau penayangan.
“Rendahnya prevalensi pemeriksaan fakta menyoroti kerentanan mereka terhadap misinformasi, yang dapat berdampak luas pada wacana publik dan kepercayaan terhadap media,” tulis laporan UNESCO, melansir The Guardian, Selasa (26/11).
Menurut Adeline Hulin, spesialis literasi media di UNESCO, banyak influencer tidak menyadari bahwa pekerjaan mereka dapat dikategorikan sebagai jurnalis.
“Mereka tidak menganggap diri mereka sebagai bagian dari dunia jurnalistik,” ujarnya.
Hal ini dikuatkan oleh Salomé Saqué, seorang jurnalis Prancis dan influencer berita, yang menilai bahwa banyak kreator kurang memahami dampak konten mereka dan memerlukan edukasi tentang praktik jurnalistik.
Selain itu, laporan tersebut mengungkapkan bahwa hampir setengah dari para kreator hanya memiliki pengetahuan parsial mengenai hukum yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi, pencemaran nama baik, dan hak cipta. Lebih dari seperempat bahkan tidak mengetahui regulasi yang berlaku di negara tempat mereka beroperasi.
Masalah transparansi juga menjadi sorotan, dengan hanya separuh influencer secara jelas mengungkapkan sponsor atau sumber pendanaan mereka kepada audiens. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, aturan mengharuskan influencer untuk menyatakan jika konten mereka bersifat berbayar.
Untuk mengatasi masalah ini, UNESCO bekerja sama dengan Knight Center for Journalism in the Americas, bagian dari Universitas Texas, menawarkan kursus daring gratis bertema “how to be a trusted voice online“.
“Kurangnya evaluasi kritis yang ketat terhadap informasi menyoroti kebutuhan mendesak untuk meningkatkan keterampilan literasi informasi media di kalangan kreator,” kata laporan tersebut.
Kursus ini mencakup modul tentang verifikasi fakta dan pembuatan konten yang relevan dengan isu penting seperti pemilu atau krisis. Hingga kini, sebanyak 9.000 influencer telah mendaftar.
Mayoritas responden survei adalah “nano-influencer” dengan jumlah pengikut hingga 10.000 orang, sebagian besar aktif di Instagram dan Facebook. Namun, sekitar seperempat responden memiliki pengikut hingga 100,000.
Temuan ini menjadi peringatan serius akan perlunya peningkatan tanggung jawab para kreator dalam menyebarkan informasi di era digital.
(wnu/dmi)
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20241202093518-192-1172716/riset-sebagian-besar-influencer-tak-verifikasi-fakta-sebelum-posting