Jakarta, CNN Indonesia —
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran kembali memuncak dalam beberapa pekan terakhir.
Itu setelah Presiden AS Donald Trump memerintahkan serangan langsung ke tiga fasilitas nuklir milik Teheran.
Tiga lokasi yang menjadi target serangan pada Minggu (21/6) malam waktu setempat itu termasuk Fordow, Natanz, dan Isfahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trump menyebut operasi tersebut sebagai “serangan tingkat tinggi yang sangat canggih”, melibatkan pembom B-2.
Washington mengeklaim serangan itu berhasil melumpuhkan program nuklir Iran secara signifikan. Namun, pemerintah Iran menegaskan akan melakukan pembalasan.
Iran kemudian membalas serangan AS dengan meluncurkan rudal-rudal mereka ke pangkalan militer AS di Al Udeid, Qatar.
Dilihat secara sejarah untuk konteks, Iran telah menjadi musuh utama Amerika Serikat di Timur Tengah sejak Revolusi Islam 1979.
Revolusi ini menggulingkan rezim pro-Barat Mohammad Reza Pahlavi dan mengangkat Ayatollah Ruhollah Khomeini sebagai pemimpin tertinggi.
Sejak saat itu, kedua negara kerap berseberangan dalam berbagai isu, mulai dari program nuklir Iran, dukungan Teheran terhadap kelompok proksi di kawasan, hingga tuduhan campur tangan politik oleh Washington.
Israel, yang sejak lama menganggap Iran sebagai ancaman eksistensial, melaksanakan serangan mendadak pada 13 Juni lalu.
Tel Aviv menuduh Teheran tengah mengembangkan senjata nuklir, klaim yang hingga kini belum didukung bukti kredibel.
Langkah Israel tersebut memicu eskalasi konflik di kawasan dan menyeret Amerika Serikat setelah Trump memerintahkan serangan ke fasilitas nuklir Iran.
Dilansir dari Al Jazeera dan the Conversation berikut sejarah hubungan Amerika Serikat dan Iran yang menjadi latar belakang konflik terkini:
1953 – Kudeta yang didukung AS, kembalinya Shah ke kekuasaan
Akar ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran dapat ditelusuri kembali ke tahun 1953.
Perdana Menteri Iran yang terpilih secara demokratis, Mohammad Mosaddegh, berupaya menasionalisasi Anglo-Iranian Oil Company, perusahaan minyak milik Inggris yang kini dikenal sebagai BP.
Mosaddegh mengusir pemilik asing perusahaan tersebut. Ia menyatakan keuntungan dari minyak Iran seharusnya digunakan untuk investasi demi kesejahteraan rakyat Iran.
Langkah nasionalisasi ini memicu kemarahan pemerintah Inggris yang saat itu memiliki saham mayoritas di perusahaan tersebut.
Inggris khawatir akan kehilangan akses terhadap minyak Iran yang murah.
Sementara Amerika Serikat mencemaskan potensi gangguan pasokan minyak global dan khawatir Iran jatuh ke pengaruh Uni Soviet di tengah ketegangan Perang Dingin.
Sebagai respons, Inggris dan Amerika Serikat merancang Operasi Ajax.
Operasi rahasia gabungan CIA dan intelijen Inggris bertujuan menggulingkan Mosaddegh dari kekuasaan.
Melalui operasi ini, CIA berhasil membujuk Shah Iran, Mohammad Reza Pahlavi, untuk mencopot Mosaddegh dan menggantikannya dengan perdana menteri baru yang lebih bersahabat dengan Barat, sosok yang dipilih langsung oleh CIA.
1957 – Program “Atoms for Peace”
AS mendukung ambisi nuklir sipil Iran di bawah Shah melalui kesepakatan kerja sama nuklir dalam program “Atoms for Peace” milik Presiden Dwight D Eisenhower.
AS bahkan menyediakan reaktor nuklir dan uranium untuk bahan bakarnya. Kerja sama ini menjadi dasar perdebatan nuklir saat ini.
1979 – Revolusi Islam
Setelah lebih dari 25 tahun hubungan AS-Iran relatif stabil, masyarakat Iran mulai menunjukkan ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang berkembang di bawah pemerintahan diktator Shah Mohammad Reza Pahlavi.
Ketimpangan ekonomi dan represi yang dilakukan aparat keamanan SAVAK memicu protes besar-besaran.
Shah kabur ke luar negeri pada Januari 1979. Dua minggu kemudian, Ayatollah Ruhollah Khomeini kembali dari pengasingan dan mendeklarasikan Republik Islam.
Pada November 1979, mahasiswa Iran menyerbu Kedutaan Besar AS di Teheran dan menyandera 52 warga Amerika.
Krisis ini membuat Presiden Jimmy Carter memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pada April 1980.
Operasi penyelamatan gagal, menewaskan delapan personel militer AS. Para sandera baru dibebaskan pada 20 Januari 1981, setelah 444 hari penyanderaan.
Bersambung ke halaman berikutnya…
1980/1988 – AS Berpihak ke Irak dalam perang melawan Iran
Pada September 1980, Irak menjalankan invasi ke Iran, memperburuk persaingan regional dan perbedaan sektarian antara kedua negara.
Irak saat itu dipimpin oleh rezim Sunni meski mayoritas penduduknya bermazhab Syiah, sementara Iran didominasi dan dipimpin oleh komunitas Syiah.
Amerika Serikat khawatir konflik ini akan mengganggu aliran minyak dari Timur Tengah dan berusaha menjaga agar perang tidak berdampak pada sekutu dekatnya, Arab Saudi.
Dalam konteks itu, AS memberikan dukungan kepada Presiden Irak Saddam Hussein dalam melawan rezim Iran yang dianggap anti-Amerika.
Sebagai konsekuensinya, Washington sebagian besar menutup mata terhadap penggunaan senjata kimia oleh Irak terhadap pasukan dan warga sipil Iran.
Pejabat-pejabat Negeri Paman Sam bahkan meredam kecaman terhadap penggunaan senjata ilegal dan tidak manusiawi. Sebab menurut Departemen Luar Negeri AS, mereka tidak ingin “memberi keuntungan propaganda kepada Iran.”
Perang akhirnya berakhir pada 1988 dalam keadaan buntu, dengan korban jiwa lebih dari 500 ribu personel militer dan 100 ribu warga sipil dari kedua pihak.
1981/1986 – AS menjual senjata kepada Iran secara rahasia
Meski memberlakukan embargo senjata terhadap Iran pada 1984, pemerintahan Ronald Reagan secara diam-diam menjual senjata ke Iran.
Tujuannya: mencegah Iran mencari dukungan Soviet dan membebaskan sandera AS di Lebanon.
Kesepakatan rahasia ini terbongkar pada 1986 dan memicu skandal Iran-Contra, di mana dana hasil penjualan senjata digunakan secara ilegal untuk mendanai kelompok pemberontak kontra di Nikaragua.
1995 – Sanksi semakin berat
Presiden Bill Clinton menandatangani perintah eksekutif yang melarang perusahaan AS berbisnis dengan Iran.
Kongres juga memberlakukan sanksi terhadap entitas asing yang berinvestasi di sektor energi Iran atau menjual senjata canggih ke negara tersebut.
AS menuding Iran atas program nuklir dan dukungan terhadap Hizbullah, Hamas, dan Jihad Islam Palestina.
1988 – Angkatan laut AS tembak jatuh pesawat sipil Iran Air 655
Pada 8 Juli 1988, kapal perang USS Vincennes milik AS menembak jatuh pesawat sipil Iran Air 655 yang sedang menuju Dubai, menewaskan seluruh 290 penumpang.
AS menyebutnya sebagai “kecelakaan tragis”, sementara Iran menuduh AS melakukannya dengan sengaja. Pada 1996, AS setuju membayar kompensasi sebesar USD 131,8 juta.
1997/98 – AS coba jalin kontak dengan Iran
Kemenangan reformis Mohammad Khatami sebagai Presiden Iran memunculkan harapan baru.
Presiden Bill Clinton mengirim pesan kepada Teheran lewat perantara Swiss. Khatami bahkan memberikan wawancara ke CNN, menyerukan pertukaran budaya.
Namun, Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei menolak keterbukaan itu.
Hubungan kembali menegang setelah Presiden George W. Bush menyebut Iran bagian dari “Poros Kejahatan” pada 2002.
2002 – Program Nuklir Iran Picu Kekhawatiran Global
Kelompok oposisi Iran mengungkap dua fasilitas nuklir rahasia Iran pada 2002. Salah satunya adalah Natanz, tempat pengayaan uranium.
Pengungkapan ini dinilai melanggar Perjanjian Nonproliferasi Nuklir (NPT). AS dan Israel kemudian meluncurkan serangan siber “Stuxnet” yang sempat memperlambat program nuklir Iran.
2003 – Surat rahasia Iran untuk Bush
Pada Mei 2003, Iran diam-diam mengirim surat kepada pemerintahan Bush melalui Kedutaan Swiss, menawarkan dialog soal nuklir, terorisme, Palestina, dan stabilitas Irak.
Namun, di Washington mengabaikan tawaran tersebut. Ketika Mahmoud Ahmadinejad terpilih sebagai presiden pada 2005, peluang rekonsiliasi pun hilang.
2015 – Kesepakatan nuklir ditandatangani
Setelah dua tahun perundingan rahasia, AS dan Iran mencapai kesepakatan nuklir (JCPOA) pada 2015 bersama China, Rusia, Prancis, Inggris, dan Jerman.
Iran setuju membatasi pengayaan uranium dan membuka diri untuk inspeksi internasional dengan imbalan pelonggaran sanksi.
Namun, pada 2018, Presiden Donald Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut dan menjatuhkan kembali sanksi penuh.
2020 – pembunuhan Soleimani
Pada 3 Januari 2020, AS membunuh Jenderal Qassem Soleimani lewat serangan drone di Baghdad.
AS menuduhnya merencanakan serangan terhadap aset AS, namun bukti tak pernah diungkapkan secara jelas. Iran membalas dengan meluncurkan rudal ke dua pangkalan militer AS di Irak.
2023 – Serangan Hamas dan ketegangan kawasan
Serangan besar-besaran Hamas ke Israel pada 7 Oktober 2023 memicu respons militer besar dari Israel dan melemahkan posisi sekutu Iran di kawasan, termasuk Hizbullah.
Iran dituding mendukung Hamas secara tidak langsung.
2025 – Trump serang AS
Setelah terpilih kembali sebagai Presiden AS, Trump menunjuk sahabatnya sekaligus pengusaha real estate, Steve Witkoff, sebagai utusan khusus Timur Tengah.
Negosiasi nuklir dimulai pada April, namun belum menghasilkan kesepakatan.
Putaran baru perundingan dijadwalkan berlangsung pada akhir Juni, namun pada 13 Juni, Israel melancarkan serangan udara ke wilayah Iran.
Langkah ini membuat Gedung Putih mengkaji ulang pendekatannya.
Akhirnya, pada 22 Juni, AS memutuskan menyerang tiga fasilitas nuklir utama Iran.
Pentagon menyatakan bahwa operasi tersebut menimbulkan “kerusakan berat”.
Teheran langsung mengeluarkan pernyataan keras bahwa mereka akan membalas serangan ini dengan tindakan yang “setimpal dan strategis”.
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/internasional/20250624143043-120-1243303/panas-dingin-hubungan-as-iran-kudeta-1953-hingga-trump-serang-iran