Jakarta, CNN Indonesia —
Di tahun 2024, saya tidak lolos Olimpiade. Saya inginnya sih lolos untuk yang terakhir kali. Terus lepas dari situ, saya juga sudah berumur, sudah 40 tahun. Terus juga, hasilnya di tahun 2024 itu jelek. Cuma satu kali final saja di Australia. Itu yang bikin saya siap pensiun.
Sebagai pemain kan saya harus tanggung jawab juga ke sponsor. Sponsor kan pasti ingin hasilnya bagus walaupun mereka gak ngomong harus final, begini, begini. Tapi dari saya sendiri yang ingin kasih hasil bagus.
Kalau dilihat secara keseluruhan, saya puas dengan prestasi saya. Saya bersyukur bisa dapat semuanya. Prestasi yang saya dapat ini melebihi bayangan saya. Kalau pas awal-awal jadi atlet itu, mimpi saya cuma pengin jadi juara, gak tahu mau juara apa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu masuk Pelatnas Cipayung, saya mengubah target saya ingin juara Olimpiade. Dan kebetulan, saya dianugerahi juara bersama Markis Kido.
Kalau melihat perjalanan saya sama Kido yang dibilang lancar, mungkin karena kami partner sudah lama, dari tahun 1998. Cuma kepotong Kido lebih dulu masuk Pelatnas karena lolos seleksi di tunggal putra. Saya kemudian masuk setelah lolos berpasangan dengan Joko Riyadi. Tak lama kemudian, saya kembali berpasangan dengan Kido.
Saya dan Kido itu sudah sama-sama tahu. Intinya, kalau main itu ya kami memang jarang ngomong, tetapi sudah tahu pergerakan masing-masing mau ke mana. Kami berdua punya tekad yang sama, satu tujuan. Kami ingin juara Olimpiade di 2008 dan kami sudah fokus pada tujuan itu dari setahun sebelumnya.
Kido/Hendra jadi juara dunia 2007. (AFP PHOTO/TENGKU BAHAR)
|
Di malam jelang final Olimpiade melawan Cai Yun/Fu Haifeng, saya gak bisa tidur, gak bisa makan. Makan cuma asal masuk karena sebenarnya lihat makanan saja sudah gak ingin makan. Tidur juga gak nyenyak, kayak kebangun terus.
Saat final, kami kalah di gim pertama. Mas Sigit Pamungkas dan Koh Christian Hadinata coba mengatur dan menekankan untuk lebih rileks. Karena kami terlihat tegang di gim pertama. Mereka bilang untuk terus turunin shuttlecock. Nah dari situ, malah kayak lawan yang kebalik jadi tegang. Di gim ketiga, kami coba terus tekan dan mereka banyak mati sendiri.
Sehabis juara Olimpiade, saya merasa lega karena juara Olimpiade itu kan mimpi kami berdua. Saya gak menyangka juga bisa juara karena dari awal lawannya juga berat-berat. Rasanya juga senang dan bangga. Karena juara Olimpiade dari Indonesia gak banyak.
Nah setelah selesai final dan pulang ke athlete village, Kido baru ngaku bahwa dia juga gak bisa tidur. Cuma dia gak ngomong. Kami satu kamar tetapi kan lampu dimatikan. Jadi sama-sama gak bisa tidur, tapi gak ada yang ngomong.
Markis Kido/Hendra Setiawan saat memenangkan Olimpiade Beijing 2008. (AFP/GOH CHAI HIN)
|
Di tahun 2009, saya memutuskan keluar Pelatnas Cipayung. Waktu itu bisa dibilang agak berat juga ambil keputuxan itu karena situasi saat itu gak kayak zaman sekarang.
Dulu mikirnya, ranking kami masih bagus dan masih mau ngejar ke 2012. Dan kebetulan Kido maunya di luar Pelatnas. Akhirnya saya ikut. Ternyata kami sukses raih emas Asian Games 2010.
Bersama Markis Kido, saya bisa juara dunia, juara Olimpiade, dan Asian Games. Semuanya itu saya dapatkan di usia 26. Saya cukup puas, tetapi balik lagi waktu itu saya belum dapat All England, Thomas Cup, masih banyak. Saya coba mengejar terus.
Saat pasangan dengan Mohammad Ahsan, saya bisa juara dunia tiga kali, juara All England untuk pertama kali, dan juara Asian Games. Pada awalnya, saya hanya berusaha dan ingin masuk top 10. Itu saja sudah cukup bagi saya waktu itu.
Saat Olimpiade 2016, kami sudah berusaha maksimal. Cuma memang belum dikasih rezeki saja.
Saat berpisah dengan Ahsan, saya gak menyangka bisa kembali berpasangan dan terus bermain. Saya juga gak menyangka di tahun 2019 bisa dapat tiga gelar, All England, Kejuaraan Dunia, dan BWF World Tour Finals.
Soal gelar di turnamen beregu, saya memang berharap bisa membawa Indonesia juara. Karena di Thomas Cup kan Indonesia lumayan rata kekuatan timnya.
Saat kalah di final Thomas Cup 2016, saya mungkin merasa itu Thomas Cup terakhir. Karena waktu itu usia saya sudah 32. Tetapi ternyata dikasih rejeki gelar juara Thomas Cup di belakang. Saat kami juara di Denmark itu, kekuatan kita memang merata. Tunggal kita rata, ganda kita pun rata.
Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>
Sebagai pemain, sebenarnya saya banyak cederanya. Cuma saya sering memaksakan untuk terus bertanding.
Enam minggu sebelum Olimpiade 2008, saya keseleo di bagian engkel. Saya hanya istirahat dua minggu lalu langsung saya paksa latihan. Saya cuma latihan tangan, sambil duduk. Saat tampil di Olimpiade 2008, masih ada rasa sakit, cuma sudah jauh lebih baik.
Terus juga saya cedera lutut kanan di Asian Games 2010. Cedera lutut ini sudah mulai terasa di nomor beregu. Waktu lagi latihan, kok tahu-tahu terasa. Mungkin kayak salah langkah, enggak enak rasanya, sakit, terus besoknya bengkak.
Saat semifinal, Kido bilang jangan dipaksa kalau memang sakit. Saya bilang: “Sayang ini, karena empat tahun ini gak tahu masih bisa main lagi apa enggak.” Kalau gak salah waktu itu meniscus-nya yang robek.
Terus saat All England 2019, saya cedera betis. Itu juga kondisi saya susah. Susah buat melangkah. Kayak ada yang ketarik, atau mungkin kayaknya ada yang robek.
Kata dokter ada kemungkinan ada yang robek. Jadi saya disarankan harus istirahat. Terus saya bilang ya sudah istirahatnya nanti habis final saja hahaha.
Saat final, saya agak lupa kami main di urutan keempat atau terakhir. Tetapi saya datang awal. Saya jalani fisioterapi dulu, terus saya tapping dulu. Terus saya pemanasannya lama. Soalnya kalau gak panas, itu berasa sakitnya.
Hendra Setiawan bermain dengan kondisi betis cedera saat juara All England 2019. (Photo by Oli SCARFF / AFP)
|
Kalau di kondisi saya, saya memilih bertindak seperti itu. Kalau cedera, harus dalam kondisi panas dulu. Itu pun di gim pertama masih berasa. Lalu di gim kedua, saya coba paksakan saja. Kalau memang kalah ya sudah, intinya saya mau paksa dulu. Ternyata bisa.
Saat main di dua gim terakhir itu, kaki ada rasa sakit, jadi penempatan bola harus bagus. Selain itu Ahsan cover di belakang. Habis selesai main, baru berasa lagi cenat-cenut main sakit.
Dalam berbagai kesempatan itu, saya berpikir sayang bilang tidak memaksakan diri. Itu kan pertandingan-pertandingan penting. Kalau mungkin pertandingan turnamen open biasa, mungkin saya juga enggak akan maksa juga dan lebih memilih mundur.
Bagi saya, momen paling mengesankan selama bermain itu, mungkin All England 2019. Karena di situ saya dan Ahsan bisa dapat gelar juara dan karena gelar itu, kami bisa juara dunia dan juara BWF World Tour Finals.
Semua asalnya dari keberhasilan juara All England 2019 itu. Maksudnya, kami jadi lebih pede untuk menghadapi turnamen-turnamen berikutnya.
Terkait saya punya torehan empat gelar juara dunia, sedikit lagi tuh harusnya bisa menyamai Lin Dan dengan lima gelar hahaha. Di Kejuaraan Dunia 2022 kalah di final.
Hendra Setiawan, bersama Liliyana Natsir, memegang rekor sebagai pemain Indonesia dengan gelar juara dunia terbanyak yaitu empat gelar. Ia hanya berjarak satu gelar dari pemegang rekor juara dunia yaitu lima gelar. (AFP/STR)
|
Kembali soal impian jadi pemain badminton saat masa kecil, saya mulai suka badminton itu karena sering diajak bapak ke lapangan. Cuma tepok-tepoknya itu dulu sama mama saya. Pertama bisa dua kali, lalu lima kali, sepuluh kali. Lama-lama tambah banyak, tambah senang. Ya sudah lama-lama disuruh ikut latihan.
Sampai akhirnya saya juara Porseni lalu kemudian dikirim ke Jaya Raya. Pesan orang tua saya: “Kalau sudah di klub besar, harus dimaksimalkan kesempatannya. Sayang waktu juga karena dari SD juga sudah latihan jadi pas sudah SMP harus lebih dimaksimalkan. Dijaga disiplinnya.”
Nasihat itu yang kemudian terus saya pegang.
Setelah di Jaya Raya, saya berhasil masuk Pelatnas Cipayung tahun 2002. Saat itu senior-seniornya masih top-topnya. Kalau lagi sparring-an, rasanya takut. Kalau lagi partner senior, kita yang pemain muda gak boleh mati. Kalau bolanya mati di kita, kita dimarahin.
Tapi itu juga yang membentuk mental. Selain itu, sparringan dengan senior juga bikin kualitas jadi cepat naik.
Begitu masuk Pelatnas Cipayung, saya sudah ingin seperti senior-senior. Rasa gak mau kalah dan disiplin yang dimiliki senior-senior itu bagus banget.
Selama berkarier, saya juga punya rasa kesal. Cuma saya berusaha untuk gak terlalu dipikirkan. Saya orangnya gak mau ruwet istilahnya.
Bicara lawan berat, kalau bareng Kido, lawan paling susah itu menurut saya Koo Kien Keat/Tan Boon Heong.
Kalau sama Ahsan, lawan terberat itu Lee Yong Dae/Yoo Yeon Seong. Ke sini-sini, ada Sinyo/Kevin yang jadi lawan paling berat. Terus ke sini-sini lawannya tambah muda lagi hahaha.
Kevin/Marcus diakui sebagai salah satu lawan terberat yang dihadapi Hendra Setiawan dalam kariernya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
|
Soal pelatih, saya beruntung banyak dapat pelatih hebat. Menurut saya, setiap pelatih ada kelebihannya. Mas Sigit Pamungkas yang lebih membangkitkan sisi non teknis, Koh Herry yang lebih detail dalam latihan, dan Koh Ar yang lebih sabar menghadapi kita-kita hahaha.
Harapan saya setelah ini, kerjaan saya bisa lancar, sehat-sehat terus. Saya juga ingin jadi pelatih, cuma saat ini saya lagi sibuk karena ada beberapa kerjaan yang baru mulai. Karena itu untuk beberapa bulan ke depan, saya akan fokus ke kerjaan baru ini lebih dulu.
Setelah perjalanan karier saya selama ini, saya ingin berterima kasih pada banyak pihak. Yang pertama pasti untuk keluarga. Orang tua, istri, anak-anak. Lalu pelatih dan partner saya selama ini. Klub saya, Jaya Raya yang telah membimbing saya sejak saya merantau ke Jakarta. Lalu sponsor yang mendukung saya, Victor dan Waroeng Steak&Shake.
Juga tentunya untuk badminton lovers. Kalau gak ada mereka, bakal susah juga saya menjalani karier ini. Mereka sudah ada dan mendukung saya dari zaman surat hingga zaman medsos. Waktu zaman surat, banyak sekali itu surat datang ke Cipayung sampai saya kesulitan baca semuanya hahaha.
[Gambas:Video CNN]
Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20250123151602-170-1190723/surat-dari-hendra-setiawan