Surat dari Hendra Setiawan

Berita, Olahraga2 Dilihat
banner 468x60
banner 468x60

Housekeeping.my.id –

Jakarta, CNN Indonesia

Di tahun 2024, saya tidak lolos Olimpiade. Saya inginnya sih lolos untuk yang terakhir kali. Terus lepas dari situ, saya juga sudah berumur, sudah 40 tahun. Terus juga, hasilnya di tahun 2024 itu jelek. Cuma satu kali final saja di Australia. Itu yang bikin saya siap pensiun.

Sebagai pemain kan saya harus tanggung jawab juga ke sponsor. Sponsor kan pasti ingin hasilnya bagus walaupun mereka gak ngomong harus final, begini, begini. Tapi dari saya sendiri yang ingin kasih hasil bagus.

Kalau dilihat secara keseluruhan, saya puas dengan prestasi saya. Saya bersyukur bisa dapat semuanya. Prestasi yang saya dapat ini melebihi bayangan saya. Kalau pas awal-awal jadi atlet itu, mimpi saya cuma pengin jadi juara, gak tahu mau juara apa.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Begitu masuk Pelatnas Cipayung, saya mengubah target saya ingin juara Olimpiade. Dan kebetulan, saya dianugerahi juara bersama Markis Kido.

Kalau melihat perjalanan saya sama Kido yang dibilang lancar, mungkin karena kami partner sudah lama, dari tahun 1998. Cuma kepotong Kido lebih dulu masuk Pelatnas karena lolos seleksi di tunggal putra. Saya kemudian masuk setelah lolos berpasangan dengan Joko Riyadi. Tak lama kemudian, saya kembali berpasangan dengan Kido.

Saya dan Kido itu sudah sama-sama tahu. Intinya, kalau main itu ya kami memang jarang ngomong, tetapi sudah tahu pergerakan masing-masing mau ke mana. Kami berdua punya tekad yang sama, satu tujuan. Kami ingin juara Olimpiade di 2008 dan kami sudah fokus pada tujuan itu dari setahun sebelumnya.




Indonesia's men's doubles pair of Markis Kido (L) and Hendra Setiawan acknowledge the crowd on the winners' podium after defeating South Korea's Jung Jae-Sung and Lee Yong-Dae in their final at the World Badminton Championships in Kuala Lumpur, 19 August 2007. The Indonesian pair won 21-19, 21-19.    AFP PHOTO/TENGKU BAHAR (Photo by TENGKU BAHAR / AFP)Kido/Hendra jadi juara dunia 2007. (AFP PHOTO/TENGKU BAHAR)

Di malam jelang final Olimpiade melawan Cai Yun/Fu Haifeng, saya gak bisa tidur, gak bisa makan. Makan cuma asal masuk karena sebenarnya lihat makanan saja sudah gak ingin makan. Tidur juga gak nyenyak, kayak kebangun terus.

Saat final, kami kalah di gim pertama. Mas Sigit Pamungkas dan Koh Christian Hadinata coba mengatur dan menekankan untuk lebih rileks. Karena kami terlihat tegang di gim pertama. Mereka bilang untuk terus turunin shuttlecock. Nah dari situ, malah kayak lawan yang kebalik jadi tegang. Di gim ketiga, kami coba terus tekan dan mereka banyak mati sendiri.

Sehabis juara Olimpiade, saya merasa lega karena juara Olimpiade itu kan mimpi kami berdua. Saya gak menyangka juga bisa juara karena dari awal lawannya juga berat-berat. Rasanya juga senang dan bangga. Karena juara Olimpiade dari Indonesia gak banyak.

Nah setelah selesai final dan pulang ke athlete village, Kido baru ngaku bahwa dia juga gak bisa tidur. Cuma dia gak ngomong. Kami satu kamar tetapi kan lampu dimatikan. Jadi sama-sama gak bisa tidur, tapi gak ada yang ngomong.




Markis Kido (R) and Hendra Setiawan of Indonesia celebrate with their gold medals in the men's badminton doubles event of the 2008 Beijing Olympic Games in Beijing on August 16, 2008. Kido and Setiawan beat Cai Yun and Fu Haifeng of China 12-21, 21-11, 21-16.       AFP PHOTO/GOH CHAI HIN (Photo by GOH CHAI HIN / AFP)Markis Kido/Hendra Setiawan saat memenangkan Olimpiade Beijing 2008. (AFP/GOH CHAI HIN)

Di tahun 2009, saya memutuskan keluar Pelatnas Cipayung. Waktu itu bisa dibilang agak berat juga ambil keputuxan itu karena situasi saat itu gak kayak zaman sekarang.

Dulu mikirnya, ranking kami masih bagus dan masih mau ngejar ke 2012. Dan kebetulan Kido maunya di luar Pelatnas. Akhirnya saya ikut. Ternyata kami sukses raih emas Asian Games 2010.

Bersama Markis Kido, saya bisa juara dunia, juara Olimpiade, dan Asian Games. Semuanya itu saya dapatkan di usia 26. Saya cukup puas, tetapi balik lagi waktu itu saya belum dapat All England, Thomas Cup, masih banyak. Saya coba mengejar terus.

Saat pasangan dengan Mohammad Ahsan, saya bisa juara dunia tiga kali, juara All England untuk pertama kali, dan juara Asian Games. Pada awalnya, saya hanya berusaha dan ingin masuk top 10. Itu saja sudah cukup bagi saya waktu itu.

Saat Olimpiade 2016, kami sudah berusaha maksimal. Cuma memang belum dikasih rezeki saja.

Saat berpisah dengan Ahsan, saya gak menyangka bisa kembali berpasangan dan terus bermain. Saya juga gak menyangka di tahun 2019 bisa dapat tiga gelar, All England, Kejuaraan Dunia, dan BWF World Tour Finals.

Soal gelar di turnamen beregu, saya memang berharap bisa membawa Indonesia juara. Karena di Thomas Cup kan Indonesia lumayan rata kekuatan timnya.

Saat kalah di final Thomas Cup 2016, saya mungkin merasa itu Thomas Cup terakhir. Karena waktu itu usia saya sudah 32. Tetapi ternyata dikasih rejeki gelar juara Thomas Cup di belakang. Saat kami juara di Denmark itu, kekuatan kita memang merata. Tunggal kita rata, ganda kita pun rata.

Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>



Artikel ini Disadur Dari Berita : https://www.cnnindonesia.com/olahraga/20250123151602-170-1190723/surat-dari-hendra-setiawan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *