Jakarta, CNN Indonesia —
Aktivis 98, Haris Rusly Moti menyatakan mengecam keras rangkaian teror yang ditujukan kepada Kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), serta pengiriman paket kepala babi dan bangkai tikus yang ditujukan kepada seorang jurnalis Tempo.
Haris mengatakan mendukung langkah hukum yang diambil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengungkap pelaku dan motif di belakang rangkaian teror itu. Dia menilai, teror tersebut bertujuan menebar ketakutan, menciptakan situasi gaduh, dan merekayasa persepsi negatif kepada pemerintahan Prabowo Subianto.
“Menurut saya media massa yang kritis adalah “sparring partner” pemerintah, terutama dalam menghadapi jajaran pejabat yang cenderung berkelakuan ‘ABS’, Asal Bapak Senang,” kata Haris dalam rilis resmi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Haris menjelaskan, dirinya memiliki sejumlah pandangan. Yang pertama, teror ditegaskan tidak dilakukan oleh jajaran pemerintahan Prabowo maupun pendukungnya.
“Pemerintahan Prabowo justru dirugikan dengan munculnya persepsi negatif dan beragam kegaduhan akibat rangkaian teror tersebut,” katanya.
Kedua, terkait pidato 19 Maret lalu, Presiden Prabowo sama sekali tidak menyalahkan sikap kritis media massa maupun media sosial. Prabowo justru melakukan introspeksi dan menganggap muncul beragam kesalahpahaman dan protes karena kegagalan komunikasi publik pemerintah.
Untuk itu, Prabowo meminta seluruh jajaran pemerintahan, para menteri dan terutama penanggungjawab komunikasi untuk memperbaiki komunikasi ke rakyat.
Ketiga, Haris menilai bahwa momentum rangkaian teror terjadi di tengah pembahasan RUU TNI oleh DPR RI. Menurutnya, pemilihan momen itu memang disengaja.
“Peneror sengaja melakukannya bertepatan dengan momentum pembahasan dan pengesahan RUU TNI. Demikian juga sasaran teror, sengaja dipilih dua institusi civil society, yaitu Kontras dan Tempo, yang dikenal kritis terhadap beberapa kebijakan pemerintah,” paparnya.
Keempat, peneror memilih momentum pembahasan RUU TNI dengan sasaran kantor media Tempo dan KontraS agar publik langsung mengasosiasikannya dengan pemerintahan Prabowo dan pendukungnya sebagai dalang.
Kelima, berdasarkan analitik media sosial dan komentar di media massa, tergambar persepsi yang dibentuk seolah pemerintah dan pendukungnya berada di balik rangkaian teror.
Keenam, bagi Haris, bukan hanya media massa yang dirugikan oleh teror terhadap kemerdekaan pers. Sebaliknya, pemerintahan Prabowo dan pendukungnya jadi disudutkan secara persepsi sebagai menjadi pelaku teror. Ketujuh, media massa dan organisasi civil society disebut sebagai target teror.
“Saya menilai target utamanya adalah merekayasa lingkungan persepsi bahwa pemerintahan Prabowo adalah pemerintahan yang militeristik dan anti demokrasi,” ujar Haris.
Kedelapan, Haris menambahkan penilaian bahwa persepsi terhadap rangkaian teror tampak diglorifikasi sedemikian rupa terutama di media sosial. Sehingga, pemerintahan Prabowo terlihat seperti sedang mengembalikan cara-cara militerisme, antidemokrasi dan antikemerdekaan pers.
Kesembilan, rangkaian teror disebut Haris didesain untuk mematangkan situasi distrust (ketidakpercayaan kepada pemerintah), disorder (ketidakaturan sosial) dan disobidience (ketidakpatuhan pada hukum).
Pasalnya, situasi yang matang otomatis akan memasifkan konflik antara masyarakat dengan pemerintah. Haris menduga, pelaku mengharapkan terjadi gelombang protes kuat dari rakyat atau people power.
Terakhir, Haris memprediksi ada dua kepentingan yang dirugikan oleh kebijakan Presiden Prabowo yang diduga terlibat mematangkan situasi distrust, disorder dan disobidience di tas. Dua kepentingan itu termasuk mafia migas yang pernah diangkat secara khusus oleh Majalah Tempo.
“Kedua, kepentingan geopolitik yang tidak sejalan dengan arah kebijakan Prabowo yang nasionalistik kerakyatan,” pungkas Haris.
(rea/rir)