Ambon, CNN Indonesia —
Warga adat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku memasang segel adat ‘sasi’ atau tanda pelarangan aktivitas penambangan pasir merah di pesisir pantai.
Mereka menutup aktivitas penambangan pasir merah menyusul permintaan untuk bertemu PJ Bupati Kabupaten Maluku Tengah Rakib Sahubawa melalui pertemuan dengan anggota DPRD tak kunjung tuntas.
Mereka pun kecewa dan memblokir perusahaan dengan memasang ‘sasi’ adat oleh tetua adat, pemuda dan masyarakat pada Sabtu (15/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebelum memasang ‘sasi’ mereka menggelar ritual sambil ramai-ramai meletakkan telapak tangan ke dalam karung berisi pasir merah di rumah tuan tanah marga Yamanukuan sekitar pukul 07.30 WIT.
Usai ritual adat, mereka long marc sambil membawa daun kelapa sejauh dua kilometer menuju perusahaan yang terletak di Dusun Waimanawa, Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Seran Bagian Timur. Setibanya pukul 09:00 WIT, sasi lalu dipasang di depan pintu gerbang PT Waragonda.
Sasi adat ini dibentangkan sebagai bentuk protes terhadap pemerintah Kabupaten Maluku Tengah.
“Segera tutup, tutup, tutup,”ucap warga sambil mengangkat tangan saat tetua adat memasang sasi.
Kepala Pemuda Negeri Haya, Ardi Tuhan mengatakan pihaknya memasang sasi karena terjadi abrasi besar-besar di sekitar pesisir pantai dan telah merusak tatanan adat hak ulayat masyarakat negeri Haya.
“Kami masyarakat adat Negeri Haya bersama saniri negeri Haya, tokoh pemuda dan tetua adat, tokoh agama kali ini menyatakan bahwa PT Waragonda ditutup,”ucapnya melalui sebuah video yang diterima CNN Indonesia,com. Sabtu (15/2).
Ardi lantas meminta Presiden Prabowo Subianto segera memerintah Menteri ESDM Bahli Lahadalia, Kementerian Lingkungan Hidup, Plt Gubernur Maluku, Dinas Lingkungan Hidup dan PTSP segera mencabut perizinan PT Waragonda karena kehadiran perusahaan tersebut sejak 2021 silam terjadi kerusakan lingkungan dan abrasi di pesisir pantai.
Usai memblokir aktivitas perusahaan pasir merah, warga adat kemudian membacakan doa bersama yang dipimpin oleh tetua adat di depan pintu gerbang PT Waragonda.
Perusahaan Pasir Merah Buka Suara
Perusahaan pasir merah buka suara terkait aksi pemblokiran dengan cara memasang ‘sasi’ atau pelarangan aktivitas oleh warga adat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku.
Kuasa Hukum PT Waragonda Sostones Sisinaru mengklaim perizinan penambangan pasir merah sudah terpenuhi setelah komisi II DPRD Kabupaten Maluku Tengah melakukan pemeriksaan terhadap semua bukti perizinan.
“Karena komisi II DPRD mau memastikan terkait perizinan, mereka sempat ke DLH provinsi, lalu mereka ke DLH, disana ketemu dengan kadis, kadis sampaikan bahwa izin sudah dilakukan dengan baik,”ujarnya kepada wartawan di Ambon, Minggu (16/2).
Ia mengatakan komisi II juga sempat bertemu Menteri ESDM terkait perizinan. Mereka pun tak menemukan satupun perizinan yang bermasalah.
“Jadi soal aksi blokiran dengan memasang sasi oleh warga Haya kemarin itu hal biasa karena untuk menyampaikan demokrasi, kita paham lah,”ucapnya.
Ia menjelaskan pemblokiran segala aktivitas penambangan pasir merah dengan memasang sasi adat murni bukan dari masyarakat adat namun hanya sekelompok orang saja.
Pasalnya, kata dia warga negeri Haya memiliki dua kubu atau dua kelompok yang berbeda pendapat atau tidak setuju dan setuju terhadap keberadaan PT Waragonda.
“Jadi wajar lah ada orang yang setuju dan tidak setuju, tapi begini, jangan sampai yang tidak setuju dan setuju saling bertengkar sehingga masyarakat jadi korban,”tuturnya.
Ia mengimbau masyarakat yang memblokir aktivitas perusahaan untuk duduk bersama-sama membicarakan persoalan tersebut sehingga melahirkan solusi dan mencari jalan keluar. Pasalnya, ia mengklaim kehadiran perusahaan memberi dampak kemakmuran ekonomi bagi masyarakat setempat.
“Jadi warga kecil juga senang, karena menjual pasir bisa meraup untung hingga Rp3 juta per bulan, mereka cuma ambil pasir di bibir pantai dan jual ke perusahaan, jadi kecil potensi terjadi abrasi,”imbuh dia.
Sementara itu, staf PT Waragonda bernama Jun Pattikawa mengatakan warga yang menggelar aktivitas penambangan pasir merah dengan peralatan sederhana. Mereka, kata dia hanya mengambil pasir dengan kedalaman mencapai 6-10 sentimeter.
Untuk itu, ia menjelaskan sangat kecil potensi terjadi abrasi di pesisir pantai karena warga hanya mengeruk pasir di atas permukaan dengan hanya kedalam 6-10 sentimeter saja.
“Jadi sangat kecil kemungkinan untuk abrasi karena saat ombak bagian pasir akan tertutup kembali air,”tuturnya
Ia mengklaim kebiasaan warga menambang pasir merah tidak berlangsung setiap hari namun penambangan tergantung cuaca.
“Ada musimnya, musim ombak, kalau musim timur biasa ada pasir merah, mereka punggul lalu mengisi di karung,”pungkasnya.
(sai/ugo)